Sejumlah peristiwa di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi perhatian pembaca infoBali dalam sepekan terakhir. Salah satunya terkait dugaan pelecehan seksual siswi SMA oleh anggota polisi berinisial Briptu MR di Kupang, NTT. Briptu MR diduga melecehkan siswi SMA itu saat terkena razia lalu lintas.
Kabar terpopuler berikutnya adalah terkait sidang tuntutan I Wayan Agus Suartama alias IWAS. Pria difabel yang tidak memiliki tangan itu dituntut pidana penjara 12 tahun terkait kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi di Mataram.
Selanjutnya, ada pula konflik lahan di Pulau Kera, Kabupaten Kupang, NTT, yang semakin memanas. Masyarakat adat di daerah itu menolak rencana pembangunan Pitoby Resort. Warga juga tak mau direlokasi dari pulau yang mereka sebut sebagai tanah leluhur.
Kasus korupsi dalam pengelolaan aset NTB Convention Center (NCC) juga menjadi sorotan pembaca. Terbaru, Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi kembali diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, terkait kasus dugaan korupsi tersebut.
Simak ulasan selengkapnya dalam rubrik Nusra Sepekan berikut ini.
Briptu MR alias Risky diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang siswi SMA berinisial PS. Anggota Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polresta Kupang Kota itu melecehkan PS di kantor Satlantas Polresta Kupang Kota pada Sabtu (3/5/2025) malam.
Kabid Humas Polda NTT, Kombes Henry Novika Chandra, menegaskan pihaknya akan menindaklanjuti laporan dugaan pelecehan tersebut. “Terkait dugaan tindak pelecehan seksual yang melibatkan oknum anggota Satlantas Polresta Kupang Kota, Briptu MR, terhadap saudari PS, kami menyatakan sikap tegas untuk memprosesnya,” kata dia, Senin (5/5/2025).
Informasi yang dihimpun infoBali, pelecehan bermula saat motor PS terkena razia lalu lintas yang dilakukan oleh Briptu MR. Setelah itu, Briptu MR meminta PS untuk menyelesaikan persoalan tersebut di kantor.
Setibanya di kantor, polisi itu mengajak PS ke salah satu ruangan. Di situlah dugaan pelecehan seksual tersebut terjadi.
Henry mengatakan Kapolda NTT Irjen Daniel Tahi Monang Silitonga telah memerintahkan Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda NTT untuk mendalami kasus tersebut. Menurutnya, pemeriksaan awal terhadap Briptu MR dan PS sudah dilakukan pada Minggu (4/5/2025).
“Kami berkomitmen untuk memproses kasus ini secara transparan dan akuntabel sesuai dengan hukum, kode etik profesi Polri, serta peraturan disiplin yang berlaku,” ujarnya.
Briptu MR alias Risky saat ini telah diamankan oleh Bidpropam Polda NTT untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Henry menyebut Bidpropam Polda NTT juga telah menggelar perkara internal guna meningkatkan penanganan kasus ke tahap penyidikan.
I Wayan Agus Suartama alias IWAS dituntut pidana penjara 12 tahun dan denda Rp 100 juta terkait kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi di Mataram, NTB. Tuntutan hukuman maksimal ini dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Mataram, Senin (5/5/2025).
Jaksa Ricky Febriandi dari Kejaksaan Tinggi NTB menyatakan pria difabel yang tidak memiliki tangan itu terbukti melanggar Pasal 6 huruf C Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juncto UU Nomor 12 Tahun 2022. Tuntutan dijatuhkan Agus melakukan pelecehan terhadap lebih dari satu korban.
“Dengan ini jaksa menuntut terdakwa Agus dengan pidana penjara 12 tahun dengan denda sebesar Rp 100 juta,” ujar Ricky seusai sidang.
“Kondisi fisik terdakwa ini justru dipakai memperdaya korban. Itulah alasan kami mempertimbangkan memperberat tuntutan kepada terdakwa,” imbuhnya.
Menurut jaksa, tindakan terdakwa terbukti secara hukum berdasarkan keterangan saksi ahli dan alat bukti. “Perbuatannya menimbulkan rasa traumatik kepada fisik dan mental korban. Tapi justru tidak ada simpatik yang ditunjukkan kepada para korban,” tegas jaksa.
Agus terkejut saat mendengarkan tuntutan tersebut. Penasihat hukum Agus, Muhammad Alfian Wibawa, menyebut tuntutan jaksa itu berlebihan karena hanya satu saksi korban yang dihadirkan di persidangan.
“Dengan tuntutan maksimal, Agus tentu kaget. Kami juga kaget. Kok jaksa nuntutnya maksimal dengan denda Rp 100 juta sesuai ancaman maksimal pada Pasal 6 huruf C UU TPKS?” kata Alfian.
Agus dan tim kuasa hukum akan menyampaikan nota pembelaan atau pleidoi pada sidang berikutnya yang dijadwalkan digelar pada Rabu (14/5/2025). Dalam sidang pleidoi mendatang, Agus juga berencana menyampaikan curahan hati pribadinya kepada majelis hakim.
“Kami akan memberikan gambaran konsep paradigma asas yang lain terhadap unsur-unsur yang dinilai oleh jaksa sehingga menuntut secara maksimal 12 tahun,” imbuh Alfian.
Masyarakat Adat Pulau Kera menolak rencana pembangunan Pitoby Resort di wilayah Pulau Kera, Kabupaten Kupang, NTT. Mereka menuntut agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kupang dan Pitoby Grup menghentikan rencana relokasi warga dari pulau tersebut.
Tokoh adat Pulau Kera, Hamdan Saba, mengungkapkan warga Pulau Kera telah menempati pulau tersebut sejak 1884. Hingga kini, sebanyak 88 kepala keluarga atau sekitar 500 jiwa tinggal di pulau yang mereka anggap sebagai tanah adat peninggalan leluhur.
“Kami merasa terhina dan terluka apabila Pulau Kera, yang dihuni pertama kali di pulau kera dan pemilik tanah yang sah, yang dipaksa untuk direlokasi ke tempat lain dan memberikan izin kepada Pitoby Grup, tanpa sepengetahuan kami sebagai pemilik sah atas tanah di Pulau Kera,” jelas Hamdan dalam pernyataan sikap yang dibacakan di Kupang, Senin (5/5/2025).
Hamdan menegaskan masyarakat adat tidak akan mundur dari wilayahnya dan siap mempertahankan tanah leluhur mereka. Ia juga mendesak Pemkab Kupang menghentikan segala upaya pemindahan paksa, termasuk tindakan intimidatif terhadap warga.
“Kami siap mati mempertahankan tanah adat peninggalan leluhur kami yang berasal dari rumpun suku Bajo, Timor, dan Rote. Kami merasa bersalah terhadap leluhur kami kalau membiarkan perusakan dan penghancuran komunitas adat dan budaya di pulau ini,” ujar Hamdan.
Di sisi lain, pihak Pitoby Raya Resort menyatakan telah memiliki sertifikat hak milik atas lahan seluas 25 hektare di Pulau Kera sejak 1986. Lahan itu dibeli dari keluarga Besilising yang disebut sebagai tuan tanah.
Perwakilan Pitoby Raya Grup, Bobby Pitoby, mengatakan perusahaan mendukung langkah Pemkab Kupang merelokasi warga Pulau Kera agar mendapatkan pelayanan pemerintah yang lebih baik. “Saya sangat mendukung karena mau merelokasi masyarakat yang ada di Pulau Kera ke tempat lain agar kehidupan mereka bisa lebih baik guna mendekatkan pelayanan,” kata dia.
Bobby menyebutkan perusahaan berencana membangun vila di atas 25 hektare dari total 46 hektare daratan Pulau Kera. Ia menegaskan status lahan mereka bukan hibah dari pemerintah, melainkan hasil jual beli resmi.
“Kami tidak mendapatkan lahan ini secara cuma-cuma atau dari Kabupaten Kupang, kami beli dari tuan tanah yaitu keluarga Besilising,” imbuh Bobby.
Menurut Bobby, peruntukan lahan di Pulau Kera bukan untuk permukiman, melainkan untuk pengembangan pariwisata. Ia juga menyampaikan Pitoby telah memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) yang berlaku hingga 2047.
“HGB itu selama 30 tahun dan sudah diperbarui pada tahun 2017 dan akan berakhir tahun 2047. Dan kenapa statusnya HGB karena kepemilikan lahan oleh badan hukum harus berbentuk HGB, tidak bisa hak milik karena hak milik hanya untuk orang per orang,” jelasnya.
Sementara itu, Bupati Kupang Yosef Lede menjelaskan rencana relokasi warga Pulau Kera ke Desa Pantulan, Kecamatan Sulamu, bertujuan untuk mendekatkan pelayanan pemerintah. “Tujuannya, agar hak-hak dasar dari warga di pulau ini dapat dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kupang,” kata dia.
Yosef menambahkan warga Pulau Kera selama ini kesulitan mendapatkan akses terhadap layanan dasar seperti air bersih, listrik, pendidikan, dan kesehatan. “Bayangkan anak-anak di sana (Pulau Kera), itu tidak sekolah sampai saat ini, sehingga saya harus relokasi,” pungkasnya.
Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi kembali diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB, Selasa (6/5/2025). Pemeriksaan mantan Gubernur NTB itu masih terkait kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan aset NTB Convention Center (NCC).
“Benar, (TGB) hadir pagi ini pukul 08.00 Wita. Dia ke pidana khusus,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati NTB, Efrien Saputera, saat dikonfirmasi.
Seusai diperiksa, TGB mengaku dimintai penjelasan seputar surat keputusan (SK) gubernur terkait pengelolaan aset NCC pada 2016. Ia menegaskan penerbitan SK saat dirinya menjabat Gubernur NTB tersebut telah melalui prosedur hukum yang berlaku. “Jadi, itu norma dalam keputusan gubernur saat itu,” ujarnya.
Untuk diketahui, TGB diperiksa selama sekitar lima jam. Ia mengaku mendapat 17 hingga 18 pertanyaan dari tim Jaksa Pidana Khusus. Eks politikus Partai Perindo itu menilai seluruh pertanyaan bersifat substantif.
“Saya berikan jawaban seusai dengan pertanyaan jaksa,” imbuhnya.
Sebelumnya, TGB juga pernah diperiksa Kejati NTB pada 13 Februari 2025 dalam perkara yang sama. Kala itu, ia diperiksa sejak pagi hingga malam.
Kasus dugaan korupsi pengelolaan aset NCC ini diduga merugikan negara hingga Rp 15,2 miliar. Dugaan kerugian timbul akibat penyimpangan dalam kerja sama pengelolaan antara Pemerintah Provinsi NTB dan PT Lombok Plaza.
Kasus ini bermula dari kerja sama Pemprov NTB dan PT Lombok Plaza menggunakan skema Bangun Guna Serah (BGS) pada tahun 2012. Namun, proyek pembangunan NCC tak pernah terealisasi.
Meski pembangunan gagal, lahan aset seluas 31,96 are di Kecamatan Mataram tetap dikuasai pihak perusahaan. Pemprov NTB disebut tidak menerima kompensasi sesuai perjanjian, sehingga menimbulkan kerugian negara.