Kembali Jadi Ketua Dekranasda Bali, Putri Suastini Fokus Urus Busana

Posted on

Istri Gubernur Wayan Koster, Ni Putu Putri Suastini, kembali menjabat Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Bali setelah dilantik di Jakarta, Senin (3/3/2025). Putri Suastini pada periode keduanya ini ingin fokus mengurus dunia mode atau busana.

“Ketika ibu di masa jabatan ini, ibu ingin masyarakat UMKM itu melihat ibu konsen di dunia busana,” kata Putri Suastini saat ditemui infoBali di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Jaya Sabha, Denpasar, Rabu (7/5/2025).

Salah satu permasalahan yang disoroti Putri Suastini adalah rusaknya tatanan kain tradisional Bali, khususnya endek. Kain tenun endek Bali banyak yang tidak lagi diproduksi oleh penenun di Pulau Dewata. Para pedagang justru berbondong-bondong memesan kain endek Bali dari luar, khususnya di Desa Troso, Jepara, Jawa Tengah (Jateng).

Ketakutan Putri Suastini, jika semua pedagang di Bali memesan di Troso, produksi tenun endek Bali akan melebar ke berbagai daerah lain. Padahal, kain endek seharusnya dibuat, dipakai, dan dijual oleh masyarakat Bali. “Jadi gerakan-gerakan swadesilah. Mandiri dalam urusan sandang,” tuturnya.

Dahulu, tutur Putri Suastini, orang Bali awalnya hanya melakukan pencelupan benang untuk pewarnaan di Troso. Hasil celupan benang kemudian dibawa lagi ke Bali untuk ditenun. Namun, warga Bali kini tidak hanya mencelupkan benang saja, melainkan memesan langsung kain endek di Troso lantas dijual di Bali.

Akibat hal itu, Bali mengalami sejumlah kerugian, mulai dari lapangan kerja yang tertutup, pasar yang diambil daerah luar hingga membuat peredaran uang dalam bisnis kain tradisional lemah. Sebab, pedagang kain tenun mengumpulkan uang dengan berjualan kain di Bali, tetapi hasil penjualannya dipakai untuk membeli kain di luar Pulau Dewata.

Oleh karena itu, Putri Suastini menginginkan kondisi itu berbalik. Masyarakat Bali diharapkan kembali menenun kain di daerah sendiri. Hasil kain tenunan itu kemudian dijual kepada sesama warga Bali, masyarakat dari daerah lain, dan ke seluruh dunia. Langkah itu diyakini akan membuat masyarakat dalam ekosistem kain tradisional Bali lebih sejahtera.

“Ganti polanya, kembalikan dia, maka lapangan kerja itu akan tumbuh. Kain itu akan tetap bertahan dia di tempat kelahirannya ketika polanya di balik. Jadi biarkan yang mengerjakan itu di tanah kelahirannya, kita semua berhak boleh menjualnya, ikut merasa menjual kain kain saudara kita,” ajak Putri Suastini.

Menurut Putri Suastini, penenun di Troso kebanyakan laki-laki. Kondisi ini berbeda dengan di Bali yang kebanyakan penenunnya adalah perempuan. Penenun laki-laki lebih cepat dalam pengerjaannya karena fisiknya yang lebih kuat. Sayangnya, kualitas tenunan diturunkan sehingga dapat dijual lebih murah. Kondisi ini yang ditengarai menjadi alasan para pedagang di Bali lebih memesan kain endek di Troso.

Sekitar 2018, ujar Putri Suastini, kain endek standar dengan benang katun harganya berada di kisaran Rp 120 ribu per meter. Namun, pasar di Troso bisa menjual jauh lebih murah, yakni sekitar Rp 80 ribu per meter. “Kan jauh (perbandingan harganya),” cetusnya.

Kain endek Bali yang terbilang bagus setidaknya memiliki kerapatan 80 pick per inch (ppi). Sementara di Troso hanya memiliki kerapatan 70 ppi. Kerapatan yang lebih kecil membuat kain endek Bali produksi Troso lebih renggang. Walhasil, kekuatan kain menjadi lebih lemah, termasuk saat dicuci. “Ketika pertama dicuci dia akan mengerut. Begitu disetrika longgar lagi. Jadi kualitasnya nggak bagus,” tutur Putri Suastini.

Oleh karena itu, perempuan yang telah lama begelut dalam dunia seni dan budaya itu ingin kesadaran para pedagang tumbuh sehingga tidak lagi memesan kain endek Bali dari Troso. Terlebih, hal ini tidak hanya berdampak pada Bali saja, tetapi juga daerah lain, termasuk kain tenun dari Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Begitu juga untuk tenun-tenun daerah lain, NTT juga diproduksi di situ. Kalau NTT kan dahulu kain aslinya kan tebel, benang-benang katun. Kalau di produksi di Troso itu jadi tipis dia,” terang Putri Suastini.

“Memang bagus untuk baju-baju yang kekinian, tetapi kan itu merampas lapangan kerja pemilik ya. Tetapi, bukan salah saudara kita yang di Troso, salahnya ya kita di sini, kita pesen ke situ. Orang pesen kan dikerjakan,” imbuh perempuan yang juga menjabat Ketua Tim Penggerak Pembina Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Bali itu.

Namun, Putri Suastini sadar, waktu jabatan selama lima tahun dari 2025 hingga 2030 tidaklah cukup untuk mengubah semua itu. Bagi Putri Suastini, paling tidak ia sudah mengingatkan masyarakat Bali, khususnya pelaku kain tradisional.

“Jadi pelaku tenun-tenun tradisional, apakah dia penenun, pedagang, mengingatkan kepada mereka. Kalau mereka tidak mengubah pola perilaku mereka, kita akan kehilangan kelestarian kain-kain kita. Jadi sebenarnya polanya itu mesti balik. Biarkan kita yang penenun di Bali. Jadi daerah Troso bantu menjualnya,” harap Putri Suastini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *