Monyet hitam Bali (Trachypithecus auratus), yang secara lokal dikenal sebagai lutung budeng, menjadi salah satu primata endemik Indonesia yang kini menghadapi tekanan populasi serius. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh IGD Angga Praditya, IW Sukra Warpala, dan Mulyadiharja S dari Universitas Pendidikan Ganesha mengungkap kondisi terbaru populasi dan habitat satwa pemalu ini di Resort Teluk Brumbun, Taman Nasional Bali Barat.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Pendidikan Biologi Undiksha ini menegaskan bahwa populasi monyet hitam secara nasional mengalami penurunan hingga 30 persen akibat perburuan, perdagangan satwa peliharaan, dan penyempitan habitat. Meski tidak termasuk kategori spesies yang terancam punah dalam daftar Appendix II CITES, tekanan yang terus-menerus dapat mendorong spesies ini menuju ancaman kepunahan. IUCN bahkan telah mengkategorikan lutung hitam sebagai spesies rentan (vulnerable) sejak 1996.
Ketika kisah-kisah adat menggambarkan lutung budeng sebagai ‘penunggu hutan’ atau ‘penjaga sunyi’, dunia ilmiah menyampaikan alarm: primata pemalu ini berada dalam ancaman serius. Dua dunia itu mitos dan sains kini saling berkelindan, menyingkap misteri satwa endemik yang selama ini jarang benar-benar dipahami.
Penelitian ini memfokuskan observasi pada dua lokasi utama yakni Waka Sorea dan Teluk Brumbun. Keduanya berada dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat, namun memiliki karakteristik ekologi yang sangat berbeda.
Lutung budeng (Trachypithecus auratus), yang bayi-bayinya lahir dengan bulu jingga terang, dianggap sebagai tanda baik dalam banyak tradisi lisan. Warna jingga cerah tersebut dipercaya sebagai simbol kesucian lahir, sehingga kemunculannya sering dianggap sebagai pertanda bahwa hutan berada dalam kondisi selaras.
Dalam usaba desa atau ritual keselamatan desa, kehadiran lutung di pinggir hutan kadang ditafsirkan sebagai restu alam. Beberapa tetua adat di wilayah Bali Barat bahkan meyakini bahwa lutung membawa pesan halus keseimbangan, kehati-hatian, atau tanda bahwa manusia perlu kembali menghormati batas-batas alam.
Kepercayaan ini memiliki akar panjang dalam tradisi Hindu-Bali. Tokoh Garuda sosok bersayap penjaga alam raya dalam susastra Jawa-Bali sering dianggap menitis pada satwa yang hidup di batas hutan, termasuk lutung. Ia adalah penjaga yang melihat dari kejauhan, diam tetapi waspada.
Namun sosok-sosok mitologis itu kini menghadapi ancaman yang jauh lebih nyata: kerusakan habitat dan perilaku manusia yang menggerus keberlanjutan hidup primata ini.
Waka Sorea ditemukan memiliki jenis vegetasi yang lebih sedikit dan didominasi oleh tumbuhan walikukun. Keberadaan vila dan aktivitas wisatawan berdampak signifikan terhadap perilaku alami monyet hitam.
“Kelompok monyet hitam di Waka Sorea cenderung menerima makanan dari wisatawan, sehingga berpotensi mengubah insting alami mereka dalam mencari pakan,” tulis para peneliti dalam laporannya.
Meskipun demikian, ketersediaan pakan yang melimpah, baik alami maupun dari manusia, menyebabkan kelompok monyet di lokasi ini memiliki jumlah anakan yang lebih tinggi, menunjukkan keberhasilan reproduksi yang relatif baik.
Berbeda dengan Waka Sorea, Teluk Brumbun dihuni oleh vegetasi beragam seperti pilang dan mimba serta terbentang di tiga ekosistem sekaligus: hutan musim, mangrove, dan hutan pantai.
Di lokasi ini, monyet hitam lebih memilih daun mimba sebagai pakan utama. Daun ini memiliki kadar tanin dan fenol yang tinggi, yang membantu menetralkan asam lambung akibat fermentasi makanan pada primata.
Pohon pilang, meski tidak dimakan, menjadi tempat berlindung favorit berkat tajuknya yang rapat dan tinggi.
Selain itu, Teluk Brumbun memiliki sumber air alami berupa sungai, serta dua bak penampung air yang disiapkan Taman Nasional Bali Barat untuk mengatasi musim kemarau.
Ketersediaan pakan memiliki pengaruh besar terhadap jumlah anggota kelompok di dua lokasi tersebut. Kelompok di Waka Sorea, yang mendapat suplai pakan tambahan dari wisatawan, memiliki ukuran kelompok dan jumlah anakan lebih tinggi dibanding kelompok di Teluk Brumbun.
Peneliti mencatat bahwa:
• Waka Sorea memiliki anggota kelompok lebih banyak dan anakan lebih banyak.
• Teluk Brumbun kelompoknya lebih kecil, tetapi lebih stabil secara ekologis.
Ketersediaan pakan (alami atau dari wisatawan) menjadi faktor pembeda utama.
Namun para ahli mengingatkan banyaknya anakan bukan berarti populasi aman. Jika sumber pakan nonalami hilang, kelompok besar di Waka Sorea justru akan mengalami krisis.
Mengingat monyet hitam adalah spesies endemik yang hanya ditemukan di Jawa, Bali, dan Lombok, para peneliti menegaskan perlunya penguatan upaya konservasi baik secara in situ maupun ex situ. Taman Nasional Bali Barat hingga kini masih menjadi habitat andalan untuk mempertahankan populasi satwa ini.
Selama sumber pakan, air, dan tempat berlindung tetap terjaga, populasi monyet hitam di Resort Teluk Brumbun diprediksi dapat bertahan. Namun aktivitas manusia yang tidak terkontrol, terutama di area wisata, menjadi ancaman yang terus membayangi.
Angga Praditya, Sukra Warpala, dan Mulyadiharja mengungkapkan data mencemaskan. Populasi lutung hitam secara nasional menurun hingga 30 persen akibat:
• perburuan liar
• perdagangan satwa peliharaan
• alih fungsi lahan
• fragmentasi hutan
IUCN telah mengkategorikan spesies ini sebagai rentan (vulnerable) sejak 1996 peringatan bahwa spesies ini selangkah lagi menuju ancaman kepunahan jika tekanan tidak dihentikan.
Meski secara hukum belum masuk dalam Appendix I CITES (kategori spesies paling terancam), pergerakan populasi di lapangan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Tidak seperti monyet ekor panjang yang dominan dan agresif, lutung budeng dikenal sangat sensitif. Mereka mudah stres dan cenderung menghindar dari interaksi dengan manusia.
Beberapa ahli primata menduga:
1. Struktur sosial lutung yang lebih rapat membuat mereka mengandalkan satu pemimpin dominan, sehingga gangguan eksternal bisa memecah stabilitas kelompok.
2. Ritme hidup yang bergantung pada pohon tinggi membuat mereka sangat menjaga jarak dengan tanah dan manusia.
3. Sifat herbivora daun (folivora) membuat mereka tidak memiliki agresivitas seperti primata pemakan segalanya (omnivora).
Kepekaan inilah yang membuat lutung budeng dianggap sebagai indikator kesehatan hutan. Jika lutung makin jarang terlihat, itu berarti hutan mengalami gangguan.
TNBB menjadi benteng terakhir populasi lutung budeng di Bali. Namun tanpa perubahan kebijakan dan edukasi, ancaman akan terus menghantui. Lutung budeng mungkin masih menyimpan banyak misteri terutama kisah-kisah spiritual yang hidup dalam masyarakat adat. Tetapi satu hal kini jelas, waktu mereka tidak banyak.
Jika manusia terus mencampuri, melukai, atau menghapus rumah mereka, maka simbol penjaga hutan itu akan hilang sebelum kita sempat benar-benar memahami mereka.
Dua Habitat Berbeda, Dua Tantangan Berbeda
Anak Jingga dan Kepercayaan Desa Adat
1. Waka Sorea: Habitat Terkikis Aktivitas Wisata
2. Teluk Brumbun: Ekosistem Alami yang Lebih Stabil
Dampaknya pada Struktur Sosial Kelompok
Konservasi Mendesak untuk Menghindari Tren Penurunan
Misteri Lutung Budeng, Mengapa Mereka Begitu Pemalu?








