Surat Gembala Natal 2025 Uskup Labuan Bajo, Monsinyur (Mgr) Maksimus Regus, menyoroti eksploitasi sumber daya alam (SDA) hingga ancaman privatisasi ruang publik dan ekologi Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam surat tersebut, Mgr. Maksi juga menekankan pentingnya pengelolaan pariwisata yang bertumpu pada keberlanjutan dan keadilan sosial.
Maksi menyampaikan konteks sosial gereja saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2025, dalam semangat Yubileum Pengharapan, kata dia, mengajak umat untuk tidak hanya melihat realitas, tetapi juga bertindak. Karena itu, ia menilai sejumlah persoalan mendesak perlu terus disuarakan.
“Eksploitasi sumber daya alam termasuk energi geothermal yang mengabaikan martabat manusia dan keutuhan ciptaan; perdagangan manusia dalam lanskap pariwisata; ancaman privatisasi ruang publik dan ekologi Labuan Bajo; serta tuntutan agar pariwisata bertumpu pada keberlanjutan dan keadilan sosial,” kata Maksi, Rabu (24/12/2025).
“Gereja tidak boleh diam. Iman selalu memiliki dimensi sosial dan menuntut keberanian profetis,” tegas dia.
Berkaitan dengan Labuan Bajo sebagai daerah pariwisata, Maksi menegaskan bahwa keberlanjutan lingkungan merupakan syarat mutlak. Ia mendorong para pengambil kebijakan hingga pemilik modal untuk meninjau kembali setiap keputusan yang berpotensi mengancam lingkungan dan ruang hidup bersama.
“Saya mengajak para pengambil kebijakan, pelaku usaha, dan pemilik modal untuk meninjau kembali setiap keputusan yang berpeluang mengancam lingkungan dan ruang hidup bersama, serta menjunjung etika ekologis demi generasi mendatang,” kata Maksi.
Pada bagian lain Surat Gembala Natal tersebut, Maksi menyinggung visi gereja yang sinodal, solid, dan solider. Ia menjelaskan Keuskupan Labuan Bajo melangkah dengan visi menjadi gereja yang berjalan bersama umat secara sehati dan setia kawan.
“Sinodalitas bukan konsep abstrak, melainkan cara hidup gereja: berjalan bersama sebagai umat Allah, saling mendengarkan, dan memberi ruang bagi suara yang kecil dan lemah,” ujar dia.
Menurutnya, budaya Manggarai memberikan fondasi yang kuat melalui tradisi musyawarah, solidaritas kampung, serta pandangan holistik tentang tanah dan alam sebagai bagian dari kehidupan bersama. Dari nilai-nilai tersebut tumbuh gereja yang solid, sehati dan kompak, serta gereja yang solider, berbela rasa dan setia kawan.
“Kita juga menegaskan kembali panggilan untuk berjalan bersama ciptaan, merawat bumi sebagai rumah bersama,” kata Maksi.
“Kepada seluruh umat, para imam, biarawan/ti: teruslah membangun budaya berjalan bersama, merawat kekompakan iman, dan menghidupkan kesetiakawanan,” tandas dia.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.






