Tiga terdakwa korupsi penyalahgunaan lahan milik Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk usaha perorangan di Gili Trawangan, Lombok Utara, mulai disidangkan. Ketiganya didakwa merugikan negara mencapai Rp 1,4 miliar.
Para terdakwa terdiri dari Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Gili Trawangan, Meno, dan Air (Tramena), Mawardi Khairi; seorang pengusaha, Ida Adnawati; dan Direktur PT Ombak Buena Gili, Alpin Agustin. Jaksa penuntut mendakwa ketiganya melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
“Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 1.427.750.000,” kata perwakilan jaksa, Fajar Alamsyah Malo, saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin (22/12/2025).
Jaksa menegaskan total kerugian negara itu berdasarkan laporan kantor akuntan publik. Terdakwa Ida disebut menguasai tiga lahan di Gili Trawangan setelah Pemprov NTB putus kontrak dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI) pada 2021. Lahan yang dikuasai itu kemudian disewakan dan uang hasil sewa di atas lahan berstatus hak pengelolaan (HPL) tersebut tidak disetorkan ke Pemprov NTB.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Jaksa kemudian menguraikan sumber kerugian tersebut. Adapun, pada lahan seluas 2.802 meter persegi yang telah terbangun bungalow dan restoran menimbulkan kerugian sebesar Rp 280 juta. Kerugian itu berasal dari sewa retribusi atau iuran per tahun, terhitung dari September 2021 hingga September 2025.
Kemudian, lahan seluas 300 meter persegi disewakan terdakwa Ida Adnawati kepada terdakwa Alpin Agustin pada 2024. Kerugian negara dari lahan tersebut menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 22 juta lebih dari sewa retribusi atau iuran tetap dari September 2021 hingga 2024.
Selanjutnya, ada pula lahan seluas 334 meter persegi yang telah dibangun rumah tempat tinggal. Kerugian negara pada luas lahan dari sewa retribusi itu sebesar Rp 25 juta lebih dari September 2021 hingga 2025.
“Jumlah sewa retribusi atau iuran tetap per tahun tidak dibayar Rp 327.750.000,” ucap Fajar.
Selain kerugian negara dari sewa retribusi yang tidak dibayar, kerugian negara juga berasal dari uang sewa yang didapatkan terdakwa Ida Adnawati dari terdakwa Alpin Agustin. Nominalnya sebesar Rp 300 juta.
Ada juga dari luas lahan 2.802 meter persegi yang dikuasai terdakwa Ida Adnawati tanpa hak. Di atas lahan itu sudah dibangun akomodasi wisata berupa bungalow dan restoran yang dikerjasamakan atau disewakan kepada Direktur PT Carpedia, David Alexander Guy De Faria.
Terdakwa Ida Adnawati yang merupakan terpidana kasus narkotika ini disebut telah mendapat bayaran dari sewa bungalow itu sebesar Rp 350 juta per tahun. “Biaya sewa itu seharusnya diterima Pemprov NTB sebagai pemilik lahan selama satu tahun sejak 16 September 2021 hingga 16 September 2022,” imbuh Jaksa.
Adapun, kerugian negara dari biaya sewa restoran yang dibayarkan PT Carpedian kepada terdakwa Ida Adnawati sebesar Rp 450 juta selama tiga tahun. Seharusnya, uang sewa itu diterima Pemprov NTB sebagai pemilik lahan. Jumlah kerugian keuangan negara dari hak sewa bungalow dan restoran mencapai Rp 800 juta.
“Jumlah kerugian keuangan semuanya Rp 1.427.750.000,” pungkasnya.
Ketiga terdakwa dinilai melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ida Adnawati Dapat Rp 5,5 Miliar dari Investor Asing
Ida Adnawati, pelaku usaha perorangan di Gili Trawangan, terungkap menerima keuntungan lebih dari Rp 5,5 miliar dari hasil sewa lahan yang dikuasainya. Keuntungan tersebut diperoleh dari investor asing, David Alexander Guy De Faria, selaku Direktur PT Carpedian.
Lahan seluas 2.802 meter persegi yang disewakan itu telah dibangun Restaurant Beach Cafe atau Ego Restaurant serta Hotel Beach Bungalow atau Gili Spendia Beach.
Usaha Restaurant Beach Cafe atau Ego Restaurant di atas tanah dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Nomor 5208.050.003.005.0054.0 itu, Ida Adnawati mendapatkan keuntungan sebesar Rp 4,4 miliar lebih.
“Terdakwa Ida Adnawati melakukan perbuatan transaksi sewa dan menerima uang hasil sewa di atas lahan hak pengelolaan (HPL) nomor 1 Tahun 1993 yang merupakan aset Pemprov NTB,” kata Fajar.
Padahal, pengusaha itu telah mengetahui pada tanah tersebut dirinya hanya memiliki SPPT. Ida Adnawati menyewakan tanah Pemprov NTB itu sejak tahun 2009 ke PT Carpedian. Sementara, saat itu tanah itu masih dikerjasamakan antara Pemprov NTB dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI).
“Sejak tahun 2009 (terdakwa Ida Adnawati) melakukan transaksi sewa dengan PT Carpedian. Di mana transaksi sewa tersebut dilakukan perpanjangan atau perubahan hingga masa sewa tahun 2035. Hingga dengan pelaksanaan kesepakatan sewa tertanggal 8 September 2016, terdakwa Ida Adnawati telah menerima uang sewa sejak tahun 2009 sampai dengan 2035 sejumlah Rp 4.475.000.000 (Rp 4,4 miliar),” ucap dia.
Pada 16 September 2021, Pemprov NTB memutus kontrak dengan PT GTI atas kerjasama itu. Setelah putus kontrak, Ida Adnawati mengetahui pemanfaatan tanah yang dikuasainya harus melalui kerja sama pemanfaatan dengan Pemprov NTB dan tidak dapat menerima hasil sewa dalam pemanfaatan tanpa adanya kerja sama tersebut.
“Namun terdakwa Ida Adnawati tidak melakukan pengembalian ke kas daerah Pemprov NTB atas uang sewa yang diterimanya dalam periode setelah pemutusan kontrak Pemprov NTB dengan PT GTI hingga tahun 2035,” katanya.
Dikatakan, Ida Adnawati pada 27 Februari 2024, mengajukan gugatan pembatalan kesepakatan sewa menyewa tanah yang digunakan untuk usaha Restaurant Beach Cafe atau Ego Restaurant itu ke Pengadilan Negeri (PN) Mataram.
Dalam putusan tingkat Pengadilan Tinggi (PT) NTB, nomor 103/PDT/2024/ PT MTR, 5 September 2024, salah satu amar putusan hakim menyatakan perjanjian sewa menyewa lahan dan bangunan Restoran Egoiste itu sangatlah keliru, dan tidak mendukung program Pemprov NTB selaku pemilik lahan.
“Selain itu, berdasarkan putusan pengadilan tersebut, terdakwa harus mengembalikan uang sewa yang diterimanya ke PT Carpedian untuk periode tahun 2024 sampai tahun 2035 dengan jumlah keseluruhan Rp. 1.450.050.000,” ujarnya.
Dengan demikian, lanjut Fajar, terdakwa masih menguasai sejumlah uang yang seharusnya tidak berhak diterima oleh terdakwa dan harus disetorkan ke kas Pemprov NTB terhitung sejak 16 September 2021 sampai dengan 16 September 2024 sejumlah Rp 450 juta.
Ida Adnawati juga disebut mendapatkan uang dari adanya usaha Hotel Beach Bungalow atau Gili Spendia Becah. Keuntungan yang didapatkan dari hasil transaski sewa dengan PT Carpedian sebesar Rp 1.050.000.000.
Tetapi, Ida Adnawati tidak mengembalikan ke kas daerah atas uang sewa yang diterimanya dalam periode setelah Pemprov NTB dan PT GTI putus kontrak pada 16 September 2021 hingga 16 September 2022.
“Dengan demikian, terdakwa masih menguasai sejumlah uang yang seharusnya tidak berhak diterima oleh terdakwa dan harus disetorkan ke kas daerah, terhitung sejak tanggal 16 September 2021 sampai dengan 16 September 2022 sejumlah Rp 350.000.000,” katanya.
Kemudian, lahan seluas 300 meter persegi disewakan terdakwa Ida Adnawati kepada terdakwa Alpin Agustin pada 2024. Kerugian negara dari lahan tersebut menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 22 juta lebih dari sewa retribusi atau iuran tetap dari September 2021 hingga 2024.
Selanjutnya, ada pula lahan seluas 334 meter persegi yang telah dibangun rumah tempat tinggal. Kerugian negara pada luas lahan dari sewa retribusi itu sebesar Rp 25 juta lebih dari September 2021 hingga 2025.
“Jumlah sewa retribusi atau iuran tetap per tahun tidak dibayar Rp 327.750.000,” ucap Fajar.
Selain kerugian negara dari sewa retribusi yang tidak dibayar, kerugian negara juga berasal dari uang sewa yang didapatkan terdakwa Ida Adnawati dari terdakwa Alpin Agustin. Nominalnya sebesar Rp 300 juta.
Ada juga dari luas lahan 2.802 meter persegi yang dikuasai terdakwa Ida Adnawati tanpa hak. Di atas lahan itu sudah dibangun akomodasi wisata berupa bungalow dan restoran yang dikerjasamakan atau disewakan kepada Direktur PT Carpedia, David Alexander Guy De Faria.
Terdakwa Ida Adnawati yang merupakan terpidana kasus narkotika ini disebut telah mendapat bayaran dari sewa bungalow itu sebesar Rp 350 juta per tahun. “Biaya sewa itu seharusnya diterima Pemprov NTB sebagai pemilik lahan selama satu tahun sejak 16 September 2021 hingga 16 September 2022,” imbuh Jaksa.
Adapun, kerugian negara dari biaya sewa restoran yang dibayarkan PT Carpedian kepada terdakwa Ida Adnawati sebesar Rp 450 juta selama tiga tahun. Seharusnya, uang sewa itu diterima Pemprov NTB sebagai pemilik lahan. Jumlah kerugian keuangan negara dari hak sewa bungalow dan restoran mencapai Rp 800 juta.
“Jumlah kerugian keuangan semuanya Rp 1.427.750.000,” pungkasnya.
Ketiga terdakwa dinilai melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ida Adnawati Dapat Rp 5,5 Miliar dari Investor Asing
Ida Adnawati, pelaku usaha perorangan di Gili Trawangan, terungkap menerima keuntungan lebih dari Rp 5,5 miliar dari hasil sewa lahan yang dikuasainya. Keuntungan tersebut diperoleh dari investor asing, David Alexander Guy De Faria, selaku Direktur PT Carpedian.
Lahan seluas 2.802 meter persegi yang disewakan itu telah dibangun Restaurant Beach Cafe atau Ego Restaurant serta Hotel Beach Bungalow atau Gili Spendia Beach.
Usaha Restaurant Beach Cafe atau Ego Restaurant di atas tanah dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Nomor 5208.050.003.005.0054.0 itu, Ida Adnawati mendapatkan keuntungan sebesar Rp 4,4 miliar lebih.
“Terdakwa Ida Adnawati melakukan perbuatan transaksi sewa dan menerima uang hasil sewa di atas lahan hak pengelolaan (HPL) nomor 1 Tahun 1993 yang merupakan aset Pemprov NTB,” kata Fajar.
Padahal, pengusaha itu telah mengetahui pada tanah tersebut dirinya hanya memiliki SPPT. Ida Adnawati menyewakan tanah Pemprov NTB itu sejak tahun 2009 ke PT Carpedian. Sementara, saat itu tanah itu masih dikerjasamakan antara Pemprov NTB dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI).
“Sejak tahun 2009 (terdakwa Ida Adnawati) melakukan transaksi sewa dengan PT Carpedian. Di mana transaksi sewa tersebut dilakukan perpanjangan atau perubahan hingga masa sewa tahun 2035. Hingga dengan pelaksanaan kesepakatan sewa tertanggal 8 September 2016, terdakwa Ida Adnawati telah menerima uang sewa sejak tahun 2009 sampai dengan 2035 sejumlah Rp 4.475.000.000 (Rp 4,4 miliar),” ucap dia.
Pada 16 September 2021, Pemprov NTB memutus kontrak dengan PT GTI atas kerjasama itu. Setelah putus kontrak, Ida Adnawati mengetahui pemanfaatan tanah yang dikuasainya harus melalui kerja sama pemanfaatan dengan Pemprov NTB dan tidak dapat menerima hasil sewa dalam pemanfaatan tanpa adanya kerja sama tersebut.
“Namun terdakwa Ida Adnawati tidak melakukan pengembalian ke kas daerah Pemprov NTB atas uang sewa yang diterimanya dalam periode setelah pemutusan kontrak Pemprov NTB dengan PT GTI hingga tahun 2035,” katanya.
Dikatakan, Ida Adnawati pada 27 Februari 2024, mengajukan gugatan pembatalan kesepakatan sewa menyewa tanah yang digunakan untuk usaha Restaurant Beach Cafe atau Ego Restaurant itu ke Pengadilan Negeri (PN) Mataram.
Dalam putusan tingkat Pengadilan Tinggi (PT) NTB, nomor 103/PDT/2024/ PT MTR, 5 September 2024, salah satu amar putusan hakim menyatakan perjanjian sewa menyewa lahan dan bangunan Restoran Egoiste itu sangatlah keliru, dan tidak mendukung program Pemprov NTB selaku pemilik lahan.
“Selain itu, berdasarkan putusan pengadilan tersebut, terdakwa harus mengembalikan uang sewa yang diterimanya ke PT Carpedian untuk periode tahun 2024 sampai tahun 2035 dengan jumlah keseluruhan Rp. 1.450.050.000,” ujarnya.
Dengan demikian, lanjut Fajar, terdakwa masih menguasai sejumlah uang yang seharusnya tidak berhak diterima oleh terdakwa dan harus disetorkan ke kas Pemprov NTB terhitung sejak 16 September 2021 sampai dengan 16 September 2024 sejumlah Rp 450 juta.
Ida Adnawati juga disebut mendapatkan uang dari adanya usaha Hotel Beach Bungalow atau Gili Spendia Becah. Keuntungan yang didapatkan dari hasil transaski sewa dengan PT Carpedian sebesar Rp 1.050.000.000.
Tetapi, Ida Adnawati tidak mengembalikan ke kas daerah atas uang sewa yang diterimanya dalam periode setelah Pemprov NTB dan PT GTI putus kontrak pada 16 September 2021 hingga 16 September 2022.
“Dengan demikian, terdakwa masih menguasai sejumlah uang yang seharusnya tidak berhak diterima oleh terdakwa dan harus disetorkan ke kas daerah, terhitung sejak tanggal 16 September 2021 sampai dengan 16 September 2022 sejumlah Rp 350.000.000,” katanya.






