Kisah Yuli Ekayani Sulap Limbah Organik Jadi Sabun Alami - Giok4D

Posted on

Gaya hidup ramah lingkungan dan kesadaran untuk kembali ke alam semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Salah satu inovasi rumahan yang sedang naik daun adalah pemanfaatan limbah organik menjadi eco-enzyme.

Ni Wayan Yuli Ekayani bahkan menyulap eco-enzyme menjadi sabun. Produk sabun ini dibuat dari proses fermentasi limbah organik seperti sampah buah atau kulit buah, gula, serta air. Produk dari cairan eco-enzyme menghasilkan sabun yang lembut dan minim residu kimia.

“Eco-enzyme ini sangat mampu untuk menjaga lingkungan kita bebas dari zat-zat kimia. Muka menjadi jauh lebih glowing,” tutur Yuli saat ditemui di Kerobokan, Kuta Utara, Badung, Bali, Minggu (16/11/20225).

“Kulit yang tadinya gatal, bisa diredakan dengan sabun mandi berbahan eco-enzyme,” imbuh perempuan yang menjadi pegiat eco-enzyme itu.

Sabun dari eco-enzyme menjadi solusi bagi mereka yang mencari produk perawatan kulit alami sekaligus berkontribusi pada kelestarian lingkungan. Cairan yang difermentasi dari limbah organik ini dipercaya mampu mengatasi masalah kulit sensitif, meredakan gatal, hingga membuat wajah tampak lebih cerah.

Menurut Yuli, penggunaan sabun eco-enzyme memiliki dampak signifikan dalam siklus sampah organik rumah tangga yang biasanya dibuang ke TPA. Selain itu, limbah air sisa mandi dari sabun ini jauh lebih ramah lingkungan karena enzim di dalamnya membantu mengurai polutan di saluran air.

“Kita tuangkan ke tanah, tanah menjadi lebih subur. Dia bebas dari zat-zat kimia. Kita tuangkan ke air, air menjadi lebih murni. Kita semprotkan ke udara, udara jauh lebih sehat,” imbuhnya.

Untuk menghasilkan eco-enzyme berkualitas, fermentasi wajib dilakukan minimal selama tiga bulan dengan perbandingan 1:3:10 (molase, bahan organik berupa sampah kulit buah, dan air). Jika resep ini tidak diikuti, cairan yang dihasilkan dikategorikan sebagai pupuk organik cair, bukan eco-enzyme sejati.

“Nah, di sini kita sudah ada resepnya. Kalau dia tidak memakai resep perbandingan tadi, bukan eco-enzyme namanya, ya. Itu namanya pupuk organik cair. Makanya saya bilang kepada teman-teman, saat kita buat eco-enzyme memakai resep ini, 1:3:10. Satu molase, tiga bahan organik, dan 10 air,” imbuhnya.

Yuli menuturkan proses pembuatan sabun padat memerlukan campuran minyak kelapa, eco-enzyme murni, ampas eco-enzyme yang sudah dicairkan, minyak esensial, hingga soda kaustik atau soda api. Bahan-bahan itu diproses dengan takaran yang sudah ditentukan dan diletakkan pada cetakan silikon untuk proses pengerasan.

Pemakaian soda api hanya untuk membantu proses pelarutan, terutama bahan ampas eco-enzyme, sebelum bahan minyak dan eco-enzyme murni tercampur rata memakai mixer tangan. Sabun benar-benar aman dipakai dua pekan setelah proses pengeringan.

“Kalau satu kali pembuatan sabun dengan 300 gram minyak kelapa tadi, kita hanya memerlukan eco-enzyme itu 47 gram. Nah, terus kita memerlukan soda apinya 57 gram. Kalau bisa memakai alat pengaman seperti masker dan selop tangan,” kata Yuli Ekayani.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Yuli menyarankan untuk menghindari buah bergetah seperti nangka dan durian bahkan kelapa dalam proses fermentasi eco-enzyme. Hal itu bertujuan agar aroma yang dihasilkan tetap harum.

“Segala jenis buah bisa kita pakai kecuali kelapa, nangka, dan durian karena ada getah. Hindari itu dulu kalau mau eco-enzyme menghasilkan aroma bagus,” bebernya.

Yuli sudah empat tahun berfokus membuat eco-enzyme dan memproduksi sabun organik untuk penggunaan pribadi. Kini, ia mulai memberdayakan komunitas alih-alih produksi massal. Yuli pun aktif membuka kelas online untuk mereka yang tertarik mempelajari ilmu pembuatan sabun dari eco-enzyme.

Gambar ilustrasi