Prevalensi strok tiga daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) tinggi. Ketiga daerah itu adalah Sikka (9%), Manggarai (8%) dan Kupang (6%).
Tingginya prevalensi strok ini diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Neurologi Indonesia (Perdosni), Dodik Tugasworo. Menurut Dodik, data ini berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas).
Parahnya, angka prevalensi strok ini juga diiringi dengan terbatasnya akses layanan kesehatan. Hal ini menambah risiko keterlambatan penanganan dan meningkatkan angka kecacatan, bahkan kematian.
“Stroke merupakan penyebab kecacatan jangka panjang nomor satu di dunia. Hal ini tentunya membutuhkan penanganan yang komprehensif dari berbagai bidang dan pihak, baik dokter, paramedis, maupun pendamping pasien,” ujar Dodik di Kupang, Jumat (14/11/2025).
Strok merupakan masalah kesehatan serius di dunia, terutama di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Data Survei Kesehatan Indonesia 2023, prevalensi strok di Tanah Air mencapai 8,3 per 1.000 penduduk.
Strok menjadi penyebab utama kecacatan dan kematian di Indonesia, yakni sebesar 11,2% dari total kecacatan dan 18,5% dari total kematian.
“Strok adalah penyakit yang mengancam jiwa karena apabila terjadi serangan strok, setiap menit sebanyak 1,9 juta sel otak dapat mati. Penyakit pembuluh darah ini merupakan penyebab utama disabilitas (kecacatan) dan kematian nomor dua di dunia,” terang Dodik.
“Selain itu, strok juga tercatat menjadi salah satu penyakit katastropik dengan pembiayaan tertinggi ketiga setelah penyakit jantung dan kanker, mencapai Rp5,2 triliun pada 2023,” tambah Dodik.
Secara global, angka mortalitas (kematian) tahunan akibat strok adalah sekitar 5,5 juta. Beban strok tidak hanya terletak pada angka kematian yang tinggi, tetapi juga morbiditas (kecacatan) yang tinggi, mengakibatkan hingga 50 persen penyintas mengalami cacat kronis.
“Butuh upaya bersama di tingkat nasional untuk edukasi dan pemberdayaan masyarakat agar kecacatan dan kematian akibat strok dapat dicegah,” terang Dodik.
Waktu menjadi hal krusial dalam hal penanganan pasien strok dengan mempertimbangkan golden period, yakni jeda waktu sejak onset awal kejadian strok hingga pemberian obat injeksi (trombolisis) untuk menghancurkan sumbatan pada strok iskemik (strok sumbatan), yakni 4,5 jam.
“Semakin singkat jeda waktu dari onset awal hingga pemberian trombolisis (kurang lebih 3 jam), efektivitas trombolisis akan makin baik,” ujar Dodik.
Kunci mencapai golden period adalah deteksi awal oleh setiap orang, bukan jeda waktu bukan dihitung dari sejak masuk rumah sakit (RS). “Secepatnya ke RS, segerakan dispatch dan delivery. Time is brain,” tegas Dodik.






