Umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan setiap 210 hari sekali pada Rabu atau Buda Kliwon Dungulan berdasarkan sistem penanggalan kalender Bali. Terdekat, Galungan kembali dirayakan pada 19 Oktober 2025.
Rangkaian Galungan diawali dengan Tumpek Wariga yang jatuh pada Saniscara Kliwon Wariga atau 25 hari sebelum Galungan. Selain Tumpek Wariga, ada pula rangkaian lainnya yang terdiri dari Penyekeban Galungan, Penyajaan Galungan, dan Penampahan Galungan.
Lantas, apa makna dari ketiga rangkaian Galungan tersebut?
Simak ulasan mengenai makna Penyekeban, Penyajaan, dan Penampahan sebagai rangkaian Hari Raya Galungan seperti dirangkum infoBali dari artikel jurnal yang ditulis Puti Maharani (2020) berjudul Kemenangan Menahan Hawa Nafsu Sebuah Perbandingan Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Galungan.
Penyekeban Galungan dilaksanakan setiap Radite Pahing Wuku Dungulan atau 3 hari sebelum Hari Raya Galungan. Secara material, saat penyekeban umat Hindu mulai mempersiapkan buah-buahan seperti pisang, sawo, mangga, dan lainnya untuk dipersembahkan saat Galungan.
Umat Hindu meyakini bhuta kala (sifat jahat) akan turun untuk menggoyahkan keyakinan dan iman saat hari Penyekeban Galungan. Secara filosofis, penyekeban buah-buahan itu dimaknai sebagai pengekangan diri atau nyekeb indriya agar tidak tergoda oleh sifat jahat.
Buah diartikan sebagai diri manusia yang harus matang sebelum menyambut Hari Raya Galungan.
Penyajaan Galungan dilaksanakan 2 hari sebelum Hari Raya Galungan, yaitu Senin atau Soma Pon Dungulan. Pada hari ini, umat Hindu biasanya membuat berbagai jajanan (kue) untuk dipersembahkan saat Galungan.
Proses pembuatan kue butuh waktu dan tenaga. Hal itu menjadi simbol kesungguhan dan memantapkan diri dalam menyambut kemenangan dharma melawan adharma.
Saat hari penyajaan, bhuta kala juga akan turun kembali untuk menggoda keyakinan dan batin umat di dunia agar tidak berkonsentrasi ketika menyiapkan banten (sesajen) untuk Galungan. Oleh karenanya, umat Hindu mempertahankan keheningan dan ketenangan pikiran melalui tapa, brata, yoga, dan samadhi.
Penampahan Galungan jatuh pada Wage Wuku Dungulan atau sehari sebelum Galungan. Penampahan Galungan di Bali identik dengan penyembelihan hewan, (biasanya babi) sebagai sarana untuk upakara/upacara. Penyembelihan babi juga diartikan sebagai upaya untuk menaklukkan sifat negatif atau sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia.
Saat Penampahan, umat Hindu di Bali membuat berbagai hidangan seperti, sate lilit, sate tusuk, lawar, tum, hingga babi guling. Sore harinya, warga memasang penjor di depan rumah atau depan gang untuk selanjutnya melakukan upacara mabyakala (pembersihan diri) menyambut Galungan yang akan tiba keesokan harinya.






