Kisah Mayadenawa di Balik Perayaan Galungan dan Kuningan di Bali update oleh Giok4D

Posted on

Hari Raya Galungan bagi umat Hindu dimaknai sebagai momen memperingati kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kebatilan). Salah satu versi tentang asal usul perayaan Galungan dikaitkan dengan kisah seorang raja sakti keturunan raksasa di Bali bernama Raja Mayadenawa.

Menurut kisah yang diwariskan secara turun-temurun, Mayadenawa digambarkan sebagai sosok seorang raja sombong dari Bedahulu, Bali. Mayadenawa memiliki kesaktian yang konon didapat atas keteguhannya dalam menyembah dan memohon kepada Dewa Siwa.

Dikisahkan, Dewa Siwa mengabulkan keinginan Mayadenawa menjadi raksasa sakti yang bisa berubah wujud. Berbekal kesaktian itu, Mayadenawa bisa menguasai seluruh Bali. Ia bahkan dengan mudah memperluas wilayah kekuasaannya ke luar Bali.

Namun, anugerah kesaktian itu membuat Mayadenawa menjadi angkuh dan sombong. Ia menjadi sosok otoriter dan melarang rakyatnya untuk menyembah para dewa. Sifat lalim sang raja itu membuat rakyat menjadi menderita dan dihantui ketakutan.

Syahdan, seorang pendeta bernama Mpu Sangkul Putih merasa prihatin dengan kekacauan yang diperbuat Mayadenawa. Pemangku Agung di Pura Besakih itu sedih lantaran rakyat sengsara dan banyak pura yang dihancurkan oleh Mayadenawa.

Di tengah keprihatinan itu, Mpu Sangkul Putih melakukan tama semadi di Pura Besakih dan memohon petunjuk dari para dewa. Konon, dalam pertapaan itu, dia mendapat petunjuk dari Dewa Mahadewa agar pergi ke Jambu Dwipa untuk meminta bantuan.

Singkat cerita, bantuan mulai berdatangan. Para dewa dari kahyangan yang dipimpin oleh Dewa Indra turun ke bumi untuk memerangi Mayadenawa yang lalim. Perang dahsyat pun meletus hingga akhirnya banyak pasukan Mayadenawa yang tewas di medan laga.

Meski begitu, Mayadenawa yang licik menyiapkan siasat dan merencanakan melarikan diri. Dalam pelariannya, Mayadenawa berupaya mengelabui lawan dengan menciptakan jejak kaki miring. Kelak, wilayah tersebut dikenal dengan nama Tampaksiring yang berarti telapak miring.

Tak hanya itu, Mayadenawa juga sempat menebar racun di sumber air di dekat sana. Dewa Indra yang mengetahui hal itu lantas menciptakan sumber air baru yang bisa menyembuhkan para pasukan yang keracunan. Kelak, sumber air itu dikenal dengan nama Tirta Empul.

Pasukan Dewa Indra terus mengejar Mayadenawa yang melarikan diri. Dalam pelarian itu, Mayadenawa berkali-kali menyamar dan mengubah wujudnya sehingga sulit dikenali musuh.

Meski begitu, semua usaha Mayadenawa itu gagal. Dewa Indra akhirnya menangkap raja lalim itu dan membunuhnya. Kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa inilah yang kemudian dianggap sebagai simbol kemenangan kebenaran atas kejahatan, yang diperingati sebagai Hari Raya Galungan.

Perayaan Galungan menjadi momentum umat Hindu di Bali untuk memberi penghormatan kepada para leluhur dan dewa-dewa yang turun ke dunia memberi kemakmuran. Hari Raya Galungan dirayakan setiap 210 hari sekali berdasarkan pawukon dalam sistem penanggalan kalender Bali.

Galungan dirayakan setiap hari Rabu pada wuku Dungulan (Budha Kliwon Dungulan). Secara filosofis, Galungan dimaksudkan agar umat Hindu mampu membedakan dharma (kebaikan) dan adharma (kebatilan) di dalam diri.

Galungan menjadi momentum umat Hindu untuk menyeimbangkan spiritual maupun ritual dalam menegakkan dharma. Kekuatan rohani dan pikiran yang terang merupakan wujud dharma dalam diri manusia.

Sepuluh hari kemudian, dilanjutkan dengan Kuningan yang jatuh setiap Sabtu wuku Kuningan (Saniscara Kliwon Kuningan). Saat Kuningan, leluhur dan para dewa kembali ke kahyangan.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

‘Kuningan’ berasal dari kata kuning yang melambangkan kesucian, kemakmuran, dan kebijaksanaan. Pada hari ini, umat Hindu membuat sarana upacara yang disebut tamiang dan endongan, simbol perlindungan dan bekal bagi roh yang kembali ke kahyangan.

Perayaan Galungan dan Kuningan

Di tengah keprihatinan itu, Mpu Sangkul Putih melakukan tama semadi di Pura Besakih dan memohon petunjuk dari para dewa. Konon, dalam pertapaan itu, dia mendapat petunjuk dari Dewa Mahadewa agar pergi ke Jambu Dwipa untuk meminta bantuan.

Singkat cerita, bantuan mulai berdatangan. Para dewa dari kahyangan yang dipimpin oleh Dewa Indra turun ke bumi untuk memerangi Mayadenawa yang lalim. Perang dahsyat pun meletus hingga akhirnya banyak pasukan Mayadenawa yang tewas di medan laga.

Meski begitu, Mayadenawa yang licik menyiapkan siasat dan merencanakan melarikan diri. Dalam pelariannya, Mayadenawa berupaya mengelabui lawan dengan menciptakan jejak kaki miring. Kelak, wilayah tersebut dikenal dengan nama Tampaksiring yang berarti telapak miring.

Tak hanya itu, Mayadenawa juga sempat menebar racun di sumber air di dekat sana. Dewa Indra yang mengetahui hal itu lantas menciptakan sumber air baru yang bisa menyembuhkan para pasukan yang keracunan. Kelak, sumber air itu dikenal dengan nama Tirta Empul.

Pasukan Dewa Indra terus mengejar Mayadenawa yang melarikan diri. Dalam pelarian itu, Mayadenawa berkali-kali menyamar dan mengubah wujudnya sehingga sulit dikenali musuh.

Meski begitu, semua usaha Mayadenawa itu gagal. Dewa Indra akhirnya menangkap raja lalim itu dan membunuhnya. Kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa inilah yang kemudian dianggap sebagai simbol kemenangan kebenaran atas kejahatan, yang diperingati sebagai Hari Raya Galungan.

Perayaan Galungan menjadi momentum umat Hindu di Bali untuk memberi penghormatan kepada para leluhur dan dewa-dewa yang turun ke dunia memberi kemakmuran. Hari Raya Galungan dirayakan setiap 210 hari sekali berdasarkan pawukon dalam sistem penanggalan kalender Bali.

Galungan dirayakan setiap hari Rabu pada wuku Dungulan (Budha Kliwon Dungulan). Secara filosofis, Galungan dimaksudkan agar umat Hindu mampu membedakan dharma (kebaikan) dan adharma (kebatilan) di dalam diri.

Galungan menjadi momentum umat Hindu untuk menyeimbangkan spiritual maupun ritual dalam menegakkan dharma. Kekuatan rohani dan pikiran yang terang merupakan wujud dharma dalam diri manusia.

Sepuluh hari kemudian, dilanjutkan dengan Kuningan yang jatuh setiap Sabtu wuku Kuningan (Saniscara Kliwon Kuningan). Saat Kuningan, leluhur dan para dewa kembali ke kahyangan.

‘Kuningan’ berasal dari kata kuning yang melambangkan kesucian, kemakmuran, dan kebijaksanaan. Pada hari ini, umat Hindu membuat sarana upacara yang disebut tamiang dan endongan, simbol perlindungan dan bekal bagi roh yang kembali ke kahyangan.

Perayaan Galungan dan Kuningan