Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR memutuskan untuk menonaktifkan tiga anggota DPR, yakni Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), dan Ahmad Sahroni, selama 3 hingga 6 bulan akibat pelanggaran kode etik. Selain itu, mereka tidak akan menerima hak keuangan DPR selama masa penonaktifan tersebut.
Wakil Ketua MKD DPR Adang Daradjatun membacakan keputusan itu di ruang sidang MKD, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2025). “Menyatakan teradu I, teradu II, teradu III, teradu IV, dan teradu V selama masa penonaktifan tidak mendapatkan hak keuangan,” ujar Adang.
Dalam putusannya, MKD menetapkan bahwa Ahmad Sahroni akan dinonaktifkan selama 6 bulan, Nafa Urbach selama 3 bulan, dan Eko Patrio selama 4 bulan. Keputusan tersebut membuat ketiga anggota DPR ini kehilangan hak keuangan mereka, yang merupakan salah satu sanksi berat yang diterapkan MKD terhadap pelanggaran etik anggota Dewan.
Sementara itu, dua anggota DPR lainnya, Adies Kadir dan Surya Utama (Uya Kuya), diaktifkan kembali setelah MKD menyatakan keduanya tidak melanggar kode etik. MKD menilai bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk menjatuhkan sanksi kepada keduanya.
Kasus ini berawal dari laporan sejumlah pihak, termasuk Hotman Samosir, I Wayan Dharmawan, dan beberapa organisasi lainnya. Namun, para pengadu mencabut laporan mereka setelah mendapatkan klarifikasi dari para teradu. “Para pengadu yang telah mengadukan teradu telah melakukan pencabutan pengaduannya, sehingga para pengadu tidak wajib dihadirkan dalam persidangan MKD,” kata Ketua MKD DPR, Dek Gam.
Wakil Ketua MKD DPR TB Hasanuddin menjelaskan bahwa pencabutan laporan terjadi setelah adanya klarifikasi dari para teradu. “Pengadu telah mencabut laporan setelah adanya klarifikasi dan kesalahan dalam menelaah informasi yang beredar di media,” ujar TB Hasanuddin.
Dengan pencabutan laporan, perkara pengaduan dianggap tidak ada. “Apabila aduan telah dicabut, maka perkara pengaduan dianggap tidak ada,” tambah Agung Widyantoro, anggota MKD DPR.
Sidang MKD terhadap lima anggota DPR nonaktif digelar pada Senin (3/11/2025). Sidang ini diadakan untuk mengusut dugaan pelanggaran etik yang terjadi pada sejumlah anggota DPR, yang meliputi kejadian berjoget saat Sidang Tahunan DPR dan komentar yang menyinggung keadilan publik sebagai anggota Dewan. Peristiwa ini memicu demo ricuh pada Agustus 2025.
Beberapa saksi dan ahli dihadirkan dalam sidang MKD DPR, termasuk Deputi Persidangan Setjen DPR Suprihartini, Koordinator Orkestra Letkol Suwarko, Ahli Kriminologi Prof. Dr. Adrianus Eliasta, dan beberapa ahli lainnya.
Kasus ini berawal dari laporan sejumlah pihak, termasuk Hotman Samosir, I Wayan Dharmawan, dan beberapa organisasi lainnya. Namun, para pengadu mencabut laporan mereka setelah mendapatkan klarifikasi dari para teradu. “Para pengadu yang telah mengadukan teradu telah melakukan pencabutan pengaduannya, sehingga para pengadu tidak wajib dihadirkan dalam persidangan MKD,” kata Ketua MKD DPR, Dek Gam.
Wakil Ketua MKD DPR TB Hasanuddin menjelaskan bahwa pencabutan laporan terjadi setelah adanya klarifikasi dari para teradu. “Pengadu telah mencabut laporan setelah adanya klarifikasi dan kesalahan dalam menelaah informasi yang beredar di media,” ujar TB Hasanuddin.
Dengan pencabutan laporan, perkara pengaduan dianggap tidak ada. “Apabila aduan telah dicabut, maka perkara pengaduan dianggap tidak ada,” tambah Agung Widyantoro, anggota MKD DPR.
Sidang MKD terhadap lima anggota DPR nonaktif digelar pada Senin (3/11/2025). Sidang ini diadakan untuk mengusut dugaan pelanggaran etik yang terjadi pada sejumlah anggota DPR, yang meliputi kejadian berjoget saat Sidang Tahunan DPR dan komentar yang menyinggung keadilan publik sebagai anggota Dewan. Peristiwa ini memicu demo ricuh pada Agustus 2025.
Beberapa saksi dan ahli dihadirkan dalam sidang MKD DPR, termasuk Deputi Persidangan Setjen DPR Suprihartini, Koordinator Orkestra Letkol Suwarko, Ahli Kriminologi Prof. Dr. Adrianus Eliasta, dan beberapa ahli lainnya.






