Jimbaran Hijau turut ambil bagian dalam panggung Ideafest 2025 yang berlangsung dari 31 Oktober hingga 2 November 2025 di JCC Senayan, Jakarta. Gelaran konferensi dan gelar wicara (talkshow) bertema Cultivate The Culture ini menjadi platform kritis dalam membentuk gagasan-gagasan baik bagi masa depan.
Dalam salah satu forumnya, Jimbaran Hijau beserta Jimbaran Hub sebagai pusat kegiatan kebudayaannya, menjabarkan visi dan posisi mereka sebagai gerakan proaktif untuk kemajuan berkelanjutan dan culturally-grounded. Mereka membedah esensi dari pengembangan atau development di era modern.
Sesi pertama bertajuk Building Space ≠ Building Community: How to Build for Belonging. Sesi ini menghadirkan Mahanugra Kinzana (Head of Business & Commercial Jimbaran Hijau), Popo (CEO Mbloc Space), Asa (CEO Samsara Group), dan Metta Setiandi (founder The Met Glodok).
Mahanugra mengeksplor cara mengubah ruang-ruang fisik menjadi ekosistem yang hidup dalam sesi tersebut. Nugra, sapaan akrabnya, membeberkan upaya Jimbaran Hub menghidupi dan dihidupi oleh komunitas warga di sekitarnya, terutama dalam konteks Bali beserta tantangan pariwisatanya.
“Sebuah ruang akan menjadi komunitas jika koneksi yang autentik itu dirawat. Kami membangun ekosistem kreatif dan entrepeneurial dengan menghubungkan inovasi lokal dengan jaringan global, sembari melestarikan nilai-nilai utama dari pulau kami,” ujar Nugra dalam keterangannya, Selasa (4/11/2025).
Nugra bercerita tentang tantangan dan peluang dalam mendirikan komunitas genuine yang tumbuh dan besar di tengah-tengah hotspot pariwisata global. “Pertanyaannya bukan bagaimana membangun ekosistem tersebut untuk warga, melainkan bersama warga, memastikan bahwa identitas lokal ini menguat via pertukaran global,” imbuhnya.
Diketahui, Jimbaran Hub dikenal sebagai contemporary village center yang hidup dengan detak gerakan kebudayaan. Mereka berupaya menjadikan ruang ini untuk menciptakan rasa memiliki (belonging) melalui pengalaman terkurasi dan koneksi antarwarga.
Gerakan ini dirayakan setiap tahun melalui pesta rakyat bertajuk Jimbafest. Selain itu, ada pula festival showcase industri musik internasional bernama AXEAN Festival dan gelaran rutin dengan memberi ruang kolaborasi antara kultur lokal dan global.
Sesi kedua bertajuk Developing Bali in the Context of Culture, Future, Nature menggali persimpangan kritis yang tengah dihadapi oleh Pulau Dewata. Founder dan CEO Jimbaran Hijau, Dr Putu Agung Prianta, menawarkan perspektif penting pelaku industri dan developer dalam forum tersebut.
Agung berbagi panggung dengan pembicara lainnya yang terdiri dari Prof Darma Putra (Guru Besar Universitas Udayana), Maria Mutiara (founder The Rahayu Project), dan dimoderatori oleh Johan Tandoko (Direktur Eksekutif Makadaya Impact Center). Diskusi tersebut membayangkan ulang masa depan Bali, sembari mencari gagasan agar Pulau Seribu Pura ini dapat berevolusi tanpa harus mengorbankan esensi kultural dan alaminya.
Dalam kesempatan itu, Agung menyoroti pembangunan yang pesat dan menyeragamkan beresiko menghapus karakter unik Bali. Menurutnya, kebutuhan kontemporer seharusnya tidak membahayakan otentisitas lokal.
“Kita harus menggugat ulang ide yang menganggap bahwa modernitas berarti menghapus tradisi. Modernitas bisa berpadu dengan nilai tradisi, kuncinya ada di menemukan balance-nya. Approach kami di Jimbaran Hijau adalah creating a sense of place, supaya Bali tetap terasa seperti di Bali,” ujar Agung.
“Kami melakukannya dengan mengadopsi dan mengintegrasikan vernacular architecture dan prinsip-prinsip filosofis Bali dalam development dan desain kami. Kami adalah bukti bahwa progres dan cultural integrity bukanlah hal yang terpisah,” imbuhnya.
Agung menuturkan Jimbaran Hijau menjadi perwujudan dari filsafat ruang dalam rancang serta cipta lingkungan. Ia menyebut pembangunan yang digarap oleh Jimbaran Hijau berupaya menghormati identitas Bali melalui vernacular architecture, sebagaimana dalam pengembangan Natadesa Resort Residence.
Sebagai kawasan, portofolio Jimbaran Hijau turut mendunia dengan adanya Raffles Bali. Kawasan ini menawarkan standar wellness dan hospitality bertaraf global dan telah meraih dua Michelin Keys.
Agung berbagi panggung dengan pembicara lainnya yang terdiri dari Prof Darma Putra (Guru Besar Universitas Udayana), Maria Mutiara (founder The Rahayu Project), dan dimoderatori oleh Johan Tandoko (Direktur Eksekutif Makadaya Impact Center). Diskusi tersebut membayangkan ulang masa depan Bali, sembari mencari gagasan agar Pulau Seribu Pura ini dapat berevolusi tanpa harus mengorbankan esensi kultural dan alaminya.
Dalam kesempatan itu, Agung menyoroti pembangunan yang pesat dan menyeragamkan beresiko menghapus karakter unik Bali. Menurutnya, kebutuhan kontemporer seharusnya tidak membahayakan otentisitas lokal.
“Kita harus menggugat ulang ide yang menganggap bahwa modernitas berarti menghapus tradisi. Modernitas bisa berpadu dengan nilai tradisi, kuncinya ada di menemukan balance-nya. Approach kami di Jimbaran Hijau adalah creating a sense of place, supaya Bali tetap terasa seperti di Bali,” ujar Agung.
“Kami melakukannya dengan mengadopsi dan mengintegrasikan vernacular architecture dan prinsip-prinsip filosofis Bali dalam development dan desain kami. Kami adalah bukti bahwa progres dan cultural integrity bukanlah hal yang terpisah,” imbuhnya.
Agung menuturkan Jimbaran Hijau menjadi perwujudan dari filsafat ruang dalam rancang serta cipta lingkungan. Ia menyebut pembangunan yang digarap oleh Jimbaran Hijau berupaya menghormati identitas Bali melalui vernacular architecture, sebagaimana dalam pengembangan Natadesa Resort Residence.
Sebagai kawasan, portofolio Jimbaran Hijau turut mendunia dengan adanya Raffles Bali. Kawasan ini menawarkan standar wellness dan hospitality bertaraf global dan telah meraih dua Michelin Keys.






