Anggota DPRD Badung I Wayan Puspa Negara mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung berkoordinasi dengan Balai Wilayah Sungai (BWS) untuk segera melakukan normalisasi dan pengerukan sedimentasi sungai. Wayan Puspa mencontohkan banjir yang terjadi di kawasan Dewi Sri, Kuta, salah satunya disebabkan daya tampung Sungai Tukad Mati berkurang akibat sedimentasi.
Ia pun mendorong agar normalisasi Tukad Mati di kawasan Samigita (Seminyak, Legian, Kuta). Hal ini menyusul terjadinya banjir di sejumlah titik pada 10 September lalu, yang salah satunya disebabkan oleh penyumbatan di sungai tersebut. Apalagi sungai itu menjadi satu-satunya yang mengalir di Samigita.
“Dalam jangka pendek, untuk mengantisipasi musim hujan seperti hari ini saja air juga kembali naik, kami minta hari ini pun harusnya saluran air, gorong-gorong, segera dilakukan normalisasi. Termasuk kami minta bupati dan BWS untuk segera mengeruk sedimentasi Tukad Mati yang menjadi satu-satunya aliran air di kawasan Samigita, yang saat ini penuh terus karena hujan lebat,” ujar Puspa Negara, ditemui di Gedung DPRD Badung, Senin (15/9/2025).
Politikus Gerindra ini menyoroti minimnya tindakan proaktif dari pihak terkait dalam mengatasi masalah ini. Ia menegaskan, pengerukan Tukad Mati sepanjang 5 kilometer harus segera dilakukan untuk memitigasi dan mengantisipasi potensi banjir di wilayah strategis tersebut.
“Air di Tukad Mati ini masih dimungkinkan untuk volumenya ditambah dengan mengeruk sedimentasinya secara berkala. Ini tidak dilakukan, sehingga kami mengultimatum sebenarnya BWS sebagai pemilik sungai, demikian juga Pemerintah Kabupaten Badung, agar berkoordinasi, segera keruk Tukad Mati dari sedimentasi untuk memitigasi banjir di kawasan Samigita,” tegas pria asal Legian ini.
Ia juga menambahkan, perlu ada perbaikan infrastruktur secara menyeluruh, termasuk memperbanyak sodetan, melakukan penggelontoran saluran air secara rutin, dan menambah jumlah pompa air. Menurutnya, dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Badung sebesar Rp 11,1 triliun pada 2025, pembangunan infrastruktur berkelas dunia atau world-class infrastructure seharusnya menjadi prioritas utama.
Puspa Negara mengakui bahwa banjir yang terjadi beberapa hari lalu juga dipengaruhi oleh fenomena alam, yakni pasang air laut akibat fenomena Blood Moon atau gerhana bulan merah. Efek ini menyebabkan air sungai sulit mengalir ke laut, sehingga memperparah genangan. Namun, ia menekankan bahwa masalah ini tidak bisa hanya diserahkan pada alam.
“Meskipun pada waktu terjadi banjir kemarin di tanggal 10, ada fenomena alam memang. Efek dari bulan merah ini juga salah satunya adalah air laut pada saat itu agak pasang, sehingga ada hambatan air sungai menuju ke laut. Tetapi apapun itu, kita punya rekayasa harusnya, kita punya teknologi. Kita tidak berserah pada alam, tapi kita harus berjuang, kita harus bergerak dengan teknologi,” ucapnya.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Akademisi Fakultas Pertanian, Sains, dan Teknologi Universitas Warmadewa (Unwar), I Nengah Muliarta, juga mendesak pemda di Bali, baik pemerintah provinsi (pemprov) maupun pemerintah kabupaten/kota untuk menormalisasi sungai. Langkah ini dinilai sangat penting sebagai antisipasi terhadap risiko banjir lebih parah yang dapat merugikan masyarakat dan lingkungan.
Endapan yang menumpuk di badan sungai dinilai telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Jika tidak ada langkah normalisasi yang diambil, potensi terjadinya banjir akan makin besar, terutama di daerah rawan.
“Sungai-sungai kita kini mengalami pendangkalan yang signifikan, membuat aliran air tidak dapat berjalan dengan optimal. Saat hujan, risiko air meluap menjadi sangat tinggi,” terang Muliarta dalam siaran pers kepada infoBali, Senin (15/9/2025).
Muliarta menekankan peran pemerintah sangat penting dalam membangun kesadaran masyarakat tentang menjaga kebersihan sungai. Menurutnya, pemerintah harus aktif dalam mendorong partisipasi masyarakat melalui program-program edukasi yang menekankan pentingnya menjaga sungai. “Tanpa adanya dukungan dan pemahaman dari masyarakat, upaya normalisasi tidak akan efektif,” katanya.
Masyarakat, terang Muliarta, sering kali merasa enggan berpartisipasi dalam menjaga kebersihan sungai jika tidak ada tindakan nyata dari pemerintah. Oleh karena itu, jika program normalisasi tidak diimplementasikan, masyarakat akan makin apatis dan enggan terlibat dalam upaya menjaga lingkungan.
Salah satu faktor yang sering diabaikan adalah kebutuhan akan infrastruktur yang memadai, seperti tempat sampah. Muliarta mengingatkan larangan membuang sampah ke sungai akan sia-sia jika tidak diimbangi dengan penyediaan tempat sampah yang cukup.
“Masyarakat tidak bisa hanya dilarang untuk membuang sampah ke sungai tanpa diberi solusi alternatif. Tempat sampah yang memadai harus disediakan di area yang rawan pencemaran,” jelas Muliarta.
Pemerintah, ujar Muliarta, perlu berinvestasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah yang efektif sehingga masyarakat memiliki akses yang mudah untuk membuang sampah dengan benar. Adanya tempat sampah yang cukup, masyarakat diharapkan akan lebih sadar dan mau berkontribusi dalam menjaga kebersihan sungai.
Bagi Muliarta, pentingnya normalisasi sungai di Bali tidak hanya terletak pada aspek teknis, tetapi juga pada keterlibatan aktif masyarakat yang didorong oleh pemerintah. Tanpa langkah-langkah konkret dan kesadaran yang tinggi, ancaman banjir akan terus menghantui.
“Pemerintah harus menempatkan perhatian pada edukasi dan infrastruktur sehingga masyarakat tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga pelaku dalam menjaga kelestarian sungai. Dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, diharapkan ancaman banjir dapat diminimalisasi dan kualitas lingkungan hidup di Bali dapat terjaga,” jelas Muliarta.
Desakan Akademisi
Akademisi Fakultas Pertanian, Sains, dan Teknologi Universitas Warmadewa (Unwar), I Nengah Muliarta, juga mendesak pemda di Bali, baik pemerintah provinsi (pemprov) maupun pemerintah kabupaten/kota untuk menormalisasi sungai. Langkah ini dinilai sangat penting sebagai antisipasi terhadap risiko banjir lebih parah yang dapat merugikan masyarakat dan lingkungan.
Endapan yang menumpuk di badan sungai dinilai telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Jika tidak ada langkah normalisasi yang diambil, potensi terjadinya banjir akan makin besar, terutama di daerah rawan.
“Sungai-sungai kita kini mengalami pendangkalan yang signifikan, membuat aliran air tidak dapat berjalan dengan optimal. Saat hujan, risiko air meluap menjadi sangat tinggi,” terang Muliarta dalam siaran pers kepada infoBali, Senin (15/9/2025).
Muliarta menekankan peran pemerintah sangat penting dalam membangun kesadaran masyarakat tentang menjaga kebersihan sungai. Menurutnya, pemerintah harus aktif dalam mendorong partisipasi masyarakat melalui program-program edukasi yang menekankan pentingnya menjaga sungai. “Tanpa adanya dukungan dan pemahaman dari masyarakat, upaya normalisasi tidak akan efektif,” katanya.
Masyarakat, terang Muliarta, sering kali merasa enggan berpartisipasi dalam menjaga kebersihan sungai jika tidak ada tindakan nyata dari pemerintah. Oleh karena itu, jika program normalisasi tidak diimplementasikan, masyarakat akan makin apatis dan enggan terlibat dalam upaya menjaga lingkungan.
Salah satu faktor yang sering diabaikan adalah kebutuhan akan infrastruktur yang memadai, seperti tempat sampah. Muliarta mengingatkan larangan membuang sampah ke sungai akan sia-sia jika tidak diimbangi dengan penyediaan tempat sampah yang cukup.
“Masyarakat tidak bisa hanya dilarang untuk membuang sampah ke sungai tanpa diberi solusi alternatif. Tempat sampah yang memadai harus disediakan di area yang rawan pencemaran,” jelas Muliarta.
Pemerintah, ujar Muliarta, perlu berinvestasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah yang efektif sehingga masyarakat memiliki akses yang mudah untuk membuang sampah dengan benar. Adanya tempat sampah yang cukup, masyarakat diharapkan akan lebih sadar dan mau berkontribusi dalam menjaga kebersihan sungai.
Bagi Muliarta, pentingnya normalisasi sungai di Bali tidak hanya terletak pada aspek teknis, tetapi juga pada keterlibatan aktif masyarakat yang didorong oleh pemerintah. Tanpa langkah-langkah konkret dan kesadaran yang tinggi, ancaman banjir akan terus menghantui.
“Pemerintah harus menempatkan perhatian pada edukasi dan infrastruktur sehingga masyarakat tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga pelaku dalam menjaga kelestarian sungai. Dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, diharapkan ancaman banjir dapat diminimalisasi dan kualitas lingkungan hidup di Bali dapat terjaga,” jelas Muliarta.