Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), mendorong peran tokoh agama hingga para penceramah untuk ikut terlibat menyosialisasikan pencegahan pernikahan anak melalui pengajian. Peran tokoh agama dinilai sangat penting untuk melengkapi regulasi yang sudah ada.
“Pengaruh tokoh agama, para penceramah, tokoh masyarakat sangat penting dalam mencegah pernikahan anak di Lombok Timur. Harus ada sinergitas antara pemerintah dengan para tokoh-tokoh, terutama di tingkat desa,” ucap Sekretaris Daerah (Sekda) Lombok Timur, Muhammad Juaini Taofik, seusai mengisi Workshop Penghapusan Pernikahan Anak bersama kepala desa se-Lombok Timur, Selasa (9/9/2025).
Menurut Juaini, selain adanya regulasi dalam bentuk peraturan daerah (perda) mengenai pernikahan anak, peran para penceramah dan tokoh agama sangat penting terutama pada momen hari besar Islam. Juaini mendorong diselipkan dalam pengajian agama terkait soal bahayanya pernikahan usia anak.
“Kami mengharapkan para penceramah, tokoh-tokoh agama ketika hari besar Islam, dalam setiap pengajianya menyampaikan tentang bahayanya pernikahan usia anak. Saya pikir itu bisa melengkapi regulasi yang ada, tetapi bukan berarti regulasi yang sudah ada ini tidak ada gunanya, tetapi ini sebagai bentuk sinergitas kita bersama,” ucap Juaini.
Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPSDM), Ririn Hayudiani, mengatakan pernikahan anak masih menjadi masalah serius di Lombok Timur meski telah memiliki berbagai kebijakan pencegahan, mulai dari surat edaran (SE) gubernur, perda provinsi, peraturan bupati (perbup) hingga peraturan desa (perdes). Namun, regulasi tersebut masih belum mampu mencegah terjadinya pernikahan usia anak.
Menurut Ririn, pernikahan usia anak di Lombok Timur bukan hanya merampas hak anak, tetapi hal tersebut juga sebagai bentuk pelanggaran hukum. Sehingga, setiap orang yang memfasilitasi pernikahan anak dapat dituntut secara hukum.
“Perkawinan anak bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merampas hak anak perempuan atas pendidikan, kesehatan, dan masa depan. Kades dan kepala wilayah harus menjadi benteng pertama karena dari tangan merekalah izin perkawinan bisa dicegah atau dibiarkan,” tegas Ririn.
Ririn menekankan pentingnya memberikan pemahaman hukum, terutama bagi aparatur pemerintah desa (pemdes) dan tokoh masyarakat mengenai pernikahan usia anak. “Ini juga penting kami ingatkan terutama bagi Pemdes bahwa perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual sesuai UU TPKS,” ucap Ririn.
Bukan hanya itu, Ririn menambahkan, dampak dari pernikahan usia anak ini akan berpengaruh terhadap kesehatan kesehatan reproduksi perempuan, risiko kematian ibu, stunting hingga kanker serviks.
“Dan bukan hanya dampak kesehatan, pernikahan anak juga berdampak pada sosial-ekonomi, termasuk rendahnya capaian pendidikan dan melanggengkan lingkaran kemiskinan,” jelas Ririn.