Teba Modern Bukan Solusi Jangka Panjang - Giok4D

Posted on

Pernyataan Gubernur Bali Wayan Koster beberapa waktu lalu yang meminta masyarakat mengurus sampah sendiri menuai beragam tanggapan. Sebagian besar warga menilai Pemprov Bali juga bertanggung jawab penuh terhadap masalah sampah.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Udayana (Unud), Prof. Dr. Ir. I Gusti Bagus Wijaya Kusuma menilai pernyataan Koster tersebut sebenarnya tidak salah secara substansi. Namun, menurut Bagus Wijaya, ucapan itu salah tempat.

“Saya rasa ucapan beliau tidak salah. Namun, seharusnya tidak disampaikan di depan awak media. Sekarang kalau masyarakat pintar lalu ucapan itu dibalikkan. Apakah di kantor atau rumah jabatan gubernur sudah ada unit pengolahan sampah mandiri?” kata Wijaya, diwawancarai infoBali, Kamis (21/8/2025).

Menurutnya, sebelum pernyataan itu dikeluarkan, Gubernur harus menunjukkan bukti kepada media dan masyarakat bahwa sekelas gubernur mampu mengoordinasi pengelolaan sampah di rumahnya sendiri.

“Kalau sudah ada bukti, pasti tumbuh rasa malu di kalangan masyarakat. Dengan begitu masyarakat akan mengikutinya. Demikian juga di kantor-kantor pemerintahan sudah disiapkan unit pengolahan sampah mandiri sehingga masyarakat Bali melihat bukti bagaimana proses pengelolaan sampah berbasis sumber itu,” ujarnya.

Kemudian setelah TPA Suwung bakal ditutup, muncul wacana agar masyarakat membangun teba modern. Menurut Prof. Wijaya, hal tersebut bukanlah solusi mengatasi sampah untuk jangka waktu panjang. Bahkan menurutnya hal itu akan menimbulkan masalah baru berupa pencemaran lingkungan.

“Teba modern itu kan di bawahnya tanah. Sampah organik yang bercampur sisa-sisa makanan menyebabkan terjadinya dekomposisi pada sampah organik yang berakibat terbentuknya leached. Leached ini akan masuk ke tanah dan mencemari dasar dari teba modern,” jelasnya.
Oleh sebab itu, desain dari teba modern pada bagian alasnya harus diberikan semacam penampungan leached yang bisa disedot ketika sudah melebihi kapasitas penampungan.

Bahkan, Wijaya saat memberikan ilmu kepada mahasiswanya tidak merekomendasikan penggunaan teba modern ini kepada mahasiswanya dan lebih ‘prefer’ ke biodigester atau komposter.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Kemudian, Wijaya juga menyayangkan Pemprov Bali tidak mengoptimalkan keberadaan tiga Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang sudah dibiayai oleh pemerintah pusat dan sudah diresmikan pada tahun 2024 lalu.

Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan, tiga TPST yang dirancang untuk mengelola 1.000 ton sampah per hari dengan sistem one stop one day. Nyatanya, tidak mampu melayani jumlah tersebut.

Hasil investigasi menunjukkan tiga TPST itu hanya mampu mengelola 450 ton per hari. Jika ditambah dengan pengelolaan di semua TPS3R di desa/kelurahan khususnya di Kota Denpasar, maka hanya menghasilkan 550 ton per hari. Sehingga masih ada sisa 450 ton yang harus dikelola dengan baik.

“Gubernur tidak pernah menyinggung masalah TPST ini padahal pengajuan proposalnya dari gubernur dan sudah dibiayai APBN ratusan miliar. Kalau dikerjakan dengan benar, TPA Suwung tidak akan menerima kiriman sampah baru,” beber Wijaya.

Perihal Pungutan Wisatawan Asing (PWA) untuk penanganan sampah di Bali juga dikritisi Prof. Wijaya. Menurutnya hal itu sah-sah saja, namun jika dilihat dari faktanya kebanyakan wisatawan asing datang ke Indonesia lebih banyak dari Bandara Soekarno-Hatta baru terbang menuju Bali.

“Sedangkan PWA itu bisa diambil kalau wisatawan landing langsung di Bali dari luar negeri. Itu sebabnya Gubernur menggandeng pihak ketiga dalam PWA ini mungkin untuk meningkatkan penerimaan dari semua titik kedatangan di Indonesia, termasuk dari laut,” terang guru besar asal Buleleng ini.

Lantas apa solusi paling realistis untuk penanganan sampah di Bali? Menurut Wijaya, salah satu solusinya yakni menjajaki kerja sama dengan investor. Ia membandingkan nilai investasinya lebih kecil dengan investasi pembangunan PKB di Kabupaten Klungkung.

“Nilai investasi lebih rendah dari investasi PKB Klungkung. Di Klungkung itu habiskan Rp 2,375 triliun, kalau di carikan lahan dan pakai yang mahal sekitar Rp 2,2 triliun dan bisa kembali modal dalam lima hingga tujuh tahun,” tegasnya.

Prof Wijaya juga menyampaikan Analisis Ekonomi Pengelolaan Sampah Organik di TPA Suwung dengan volume 1.000 ton per hari dengan sampah organik berumur lebih dari 10 tahun operasi sebagai berikut;

Berdasarkan perhitungan tersebut, Pemerintah Provinsi Bali bisa nantinya mengundang investor yang mengolah sampah TPA Suwung dengan nilai investasi paling rendah, tipping fee paling rendah, namun memiliki keuntungan yang sangat bagus untuk Pemerintah Provinsi Bali. Metoda yang paling tepat adalah Composting.

Menurutnya pengolahan sampah ini harus dimulai dari tingkat anak-anak bahkan mulai dari tingkat pra-sekolah. Selain itu, sekolah-sekolah yang ada tidak terdapat kurikulum mengenai budi pekerti khusus sampah. Seperti yang dilakukan di Jepang, masalah sampah ini bahkan sudah diedukasi sejak dini di sekolah-sekolah.

Horeka Hasilkan 1.100 Ton Sampah per Hari

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Bali mengajak hotel dan restoran di Bali untuk mengikuti apa yang menjadi anjuran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Mulai memilah hingga mengolah sampah sendiri.

Sekretaris PHRI Bali Perry Markus menyebut berdasarkan data SIPSN 2024, sektor hotel, restoran, katering/kafe (horeka) di Bali menghasilkan sampah sekitar 1.000-1.100 ton per hari. Selama ini, sampah dari horeka di Denpasar dan Badung itu dibuang ke TPA Suwung.

Selain itu, dia berujar, sampah juga dibuang ke TPS3R atau TPST yang dikelola desa adat. Di luar itu, beberapa hotel sudah bisa mengolah sampah sendiri.

Di antaranya, dengan memanfaatkan biopori hingga teba modern. “Contohnya Potato Head dia sudah bisa klaim 99,5 persen pengelolaan internal mereka nyaris zero waste. Kemudian Mulia Hotel mereka menyebut 97,5 persen reduksi sampah sudah mereka lakukan dalam sistem internal mereka,” kata Perry saat dijumpai di Denpasar, Bali, Selasa (26/8/2025).

Menurutnya, hal tersebut menunjukkan kemampuan dari hotel-hotel di Bali dalam melaksanakan berbagai upaya dalam menyelesaikan persoalan sampah mereka.

“Walaupun misalnya ini belum 100 persen. Tapi, itu sudah kelihatan bahwa mereka mulai untuk melakukan apa yang tadi (menyelesaikan persoalan sampah mereka),” beber Perry.

Dia mengatakan dengan adanya aturan soal TPA Suwung hanya bisa menerima sampah anorganik dan residu per 1 Agustus, justru membuat beberapa hotel besar di Bali untuk mulai melakukan pemilahan hingga pengelolaan sampah secara mandiri.

“Mungkin ini juga jadi satu pemicu saya pikir. Cuma kami belum bisa menyebutkan berapa hotel yang sudah melakukan ini. Tapi, sekarang ini mereka seperti berlomba-lomba untuk melakukan itu karena mau tidak mau nanti kalau (TPA) sudah ditutup mereka mau buang sampahnya kemana lagi?” ungkap Perry.

Hanya saja, sambung dia, masing-masing hotel dan restoran memiliki kemampuan dan hambatan masing-masing dalam melaksanakan hal tersebut. Khususnya bagi mereka yang memiliki luas lahan tak begitu luas ataupun budget dalam melaksanakan pengelolaan sampah.

Misalnya untuk membuat biopori hingga teba modern. Sehingga, hal ini pun berpengaruh pada perbedaan waktu tiap hotel dan restoran untuk sepenuhnya dapat mengelola sampahnya secara mandiri.

“Kalau saya lihat secara global, kita bicara tadi bahwa kalau untuk hotel berbintang mungkin dalam 3-6 bulan dia sudah mampu. Tapi, kalau hotel menengah mungkin butuh waktu 6-12 bulan dan untuk UMKM atau restoran kecil di atas 12 bulan karena keterbatasannya selain lahan, biaya juga untuk menangani itu. Jadi, berbeda sesuai dengan tingkatannya mereka,” tutur Perry.

Menurut Perry, masing-masing hotel dan restoran perlu membuat rencana aksi jangka pendek dan panjang terkait upaya pengelolaan sampah tersebut. Terlebih, kian dekatnya jadwal penutupan TPA Suwung.

“Kalau saya lihat memang ini yang harus kami sosialisasikan ke teman-teman (pada sektor hotel dan restoran di Bali),” sebutnya.

Di sisi lain, PHRI juga ingin meminta dukungan pemerintah berupa insentif hingga pelatihan dan juga instruktur terkait pengelolaan sampah.

Menurut Perry, insentif yang dibutuhkan bukanlah berupa uang. Namun, semacam bantuan untuk alat pada TPS3R. Sehingga, bisa saja ke depannya sampah dari hotel-hotel dengan lahan kecil dapat diolah di satu TPS3R.

“Sehingga semua hotel-hotel ini bisa menyalurkan (sampahnya) ke sana. Di luar dari yang tidak bisa mereka olah sendiri.
Mungkin insentif seperti itu yang kami harapkan dari pemerintah,” kata Perry.

Selain itu, pihaknya juga berharap pemerintah dapat memberikan pelatihan dan juga infrastruktur terkait sosialisasi pengelolaan sampah. Hal ini mengingat biasanya hanya hotel chain international yang memiliki tim pengelolaan sampah. Sementara, hotel dan restoran yang kecil-kecil tak memiliknya.

“Selain kita bicara insentif untuk peralatan dan pelatihan, kami sebenarnya juga ingin adanya reward and punishment bagi pelaku usaha,” ujar Perry.

Gambar ilustrasi

Hasil investigasi menunjukkan tiga TPST itu hanya mampu mengelola 450 ton per hari. Jika ditambah dengan pengelolaan di semua TPS3R di desa/kelurahan khususnya di Kota Denpasar, maka hanya menghasilkan 550 ton per hari. Sehingga masih ada sisa 450 ton yang harus dikelola dengan baik.

“Gubernur tidak pernah menyinggung masalah TPST ini padahal pengajuan proposalnya dari gubernur dan sudah dibiayai APBN ratusan miliar. Kalau dikerjakan dengan benar, TPA Suwung tidak akan menerima kiriman sampah baru,” beber Wijaya.

Perihal Pungutan Wisatawan Asing (PWA) untuk penanganan sampah di Bali juga dikritisi Prof. Wijaya. Menurutnya hal itu sah-sah saja, namun jika dilihat dari faktanya kebanyakan wisatawan asing datang ke Indonesia lebih banyak dari Bandara Soekarno-Hatta baru terbang menuju Bali.

“Sedangkan PWA itu bisa diambil kalau wisatawan landing langsung di Bali dari luar negeri. Itu sebabnya Gubernur menggandeng pihak ketiga dalam PWA ini mungkin untuk meningkatkan penerimaan dari semua titik kedatangan di Indonesia, termasuk dari laut,” terang guru besar asal Buleleng ini.

Lantas apa solusi paling realistis untuk penanganan sampah di Bali? Menurut Wijaya, salah satu solusinya yakni menjajaki kerja sama dengan investor. Ia membandingkan nilai investasinya lebih kecil dengan investasi pembangunan PKB di Kabupaten Klungkung.

“Nilai investasi lebih rendah dari investasi PKB Klungkung. Di Klungkung itu habiskan Rp 2,375 triliun, kalau di carikan lahan dan pakai yang mahal sekitar Rp 2,2 triliun dan bisa kembali modal dalam lima hingga tujuh tahun,” tegasnya.

Prof Wijaya juga menyampaikan Analisis Ekonomi Pengelolaan Sampah Organik di TPA Suwung dengan volume 1.000 ton per hari dengan sampah organik berumur lebih dari 10 tahun operasi sebagai berikut;

Berdasarkan perhitungan tersebut, Pemerintah Provinsi Bali bisa nantinya mengundang investor yang mengolah sampah TPA Suwung dengan nilai investasi paling rendah, tipping fee paling rendah, namun memiliki keuntungan yang sangat bagus untuk Pemerintah Provinsi Bali. Metoda yang paling tepat adalah Composting.

Menurutnya pengolahan sampah ini harus dimulai dari tingkat anak-anak bahkan mulai dari tingkat pra-sekolah. Selain itu, sekolah-sekolah yang ada tidak terdapat kurikulum mengenai budi pekerti khusus sampah. Seperti yang dilakukan di Jepang, masalah sampah ini bahkan sudah diedukasi sejak dini di sekolah-sekolah.

Horeka Hasilkan 1.100 Ton Sampah per Hari

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Bali mengajak hotel dan restoran di Bali untuk mengikuti apa yang menjadi anjuran Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Mulai memilah hingga mengolah sampah sendiri.

Sekretaris PHRI Bali Perry Markus menyebut berdasarkan data SIPSN 2024, sektor hotel, restoran, katering/kafe (horeka) di Bali menghasilkan sampah sekitar 1.000-1.100 ton per hari. Selama ini, sampah dari horeka di Denpasar dan Badung itu dibuang ke TPA Suwung.

Selain itu, dia berujar, sampah juga dibuang ke TPS3R atau TPST yang dikelola desa adat. Di luar itu, beberapa hotel sudah bisa mengolah sampah sendiri.

Di antaranya, dengan memanfaatkan biopori hingga teba modern. “Contohnya Potato Head dia sudah bisa klaim 99,5 persen pengelolaan internal mereka nyaris zero waste. Kemudian Mulia Hotel mereka menyebut 97,5 persen reduksi sampah sudah mereka lakukan dalam sistem internal mereka,” kata Perry saat dijumpai di Denpasar, Bali, Selasa (26/8/2025).

Menurutnya, hal tersebut menunjukkan kemampuan dari hotel-hotel di Bali dalam melaksanakan berbagai upaya dalam menyelesaikan persoalan sampah mereka.

“Walaupun misalnya ini belum 100 persen. Tapi, itu sudah kelihatan bahwa mereka mulai untuk melakukan apa yang tadi (menyelesaikan persoalan sampah mereka),” beber Perry.

Dia mengatakan dengan adanya aturan soal TPA Suwung hanya bisa menerima sampah anorganik dan residu per 1 Agustus, justru membuat beberapa hotel besar di Bali untuk mulai melakukan pemilahan hingga pengelolaan sampah secara mandiri.

“Mungkin ini juga jadi satu pemicu saya pikir. Cuma kami belum bisa menyebutkan berapa hotel yang sudah melakukan ini. Tapi, sekarang ini mereka seperti berlomba-lomba untuk melakukan itu karena mau tidak mau nanti kalau (TPA) sudah ditutup mereka mau buang sampahnya kemana lagi?” ungkap Perry.

Hanya saja, sambung dia, masing-masing hotel dan restoran memiliki kemampuan dan hambatan masing-masing dalam melaksanakan hal tersebut. Khususnya bagi mereka yang memiliki luas lahan tak begitu luas ataupun budget dalam melaksanakan pengelolaan sampah.

Misalnya untuk membuat biopori hingga teba modern. Sehingga, hal ini pun berpengaruh pada perbedaan waktu tiap hotel dan restoran untuk sepenuhnya dapat mengelola sampahnya secara mandiri.

“Kalau saya lihat secara global, kita bicara tadi bahwa kalau untuk hotel berbintang mungkin dalam 3-6 bulan dia sudah mampu. Tapi, kalau hotel menengah mungkin butuh waktu 6-12 bulan dan untuk UMKM atau restoran kecil di atas 12 bulan karena keterbatasannya selain lahan, biaya juga untuk menangani itu. Jadi, berbeda sesuai dengan tingkatannya mereka,” tutur Perry.

Gambar ilustrasi

Menurut Perry, masing-masing hotel dan restoran perlu membuat rencana aksi jangka pendek dan panjang terkait upaya pengelolaan sampah tersebut. Terlebih, kian dekatnya jadwal penutupan TPA Suwung.

“Kalau saya lihat memang ini yang harus kami sosialisasikan ke teman-teman (pada sektor hotel dan restoran di Bali),” sebutnya.

Di sisi lain, PHRI juga ingin meminta dukungan pemerintah berupa insentif hingga pelatihan dan juga instruktur terkait pengelolaan sampah.

Menurut Perry, insentif yang dibutuhkan bukanlah berupa uang. Namun, semacam bantuan untuk alat pada TPS3R. Sehingga, bisa saja ke depannya sampah dari hotel-hotel dengan lahan kecil dapat diolah di satu TPS3R.

“Sehingga semua hotel-hotel ini bisa menyalurkan (sampahnya) ke sana. Di luar dari yang tidak bisa mereka olah sendiri.
Mungkin insentif seperti itu yang kami harapkan dari pemerintah,” kata Perry.

Selain itu, pihaknya juga berharap pemerintah dapat memberikan pelatihan dan juga infrastruktur terkait sosialisasi pengelolaan sampah. Hal ini mengingat biasanya hanya hotel chain international yang memiliki tim pengelolaan sampah. Sementara, hotel dan restoran yang kecil-kecil tak memiliknya.

“Selain kita bicara insentif untuk peralatan dan pelatihan, kami sebenarnya juga ingin adanya reward and punishment bagi pelaku usaha,” ujar Perry.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *