EM (50), seorang warga Desa Hoi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), meninggal dunia dengan gejala rabies pada 13 April 2025. EM punya riwayat digigit anjing rabies dua tahun lalu, tepatnya Mei 2023.
Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan Kabupaten TTS, Ria Tahun, mengungkapkan EM digigit anjing liar saat sedang membersihkan kebun milik mereka di Desa Tetaf, Kecamatan Kuatnana. Lokasi gigitan bukan area vital sehingga memungkinan penyebaran virus rabies hingga ke otak terjadi dalam jangka waktu lama.
“Korban digigit anjing tak bertuan di bagian dada sebanyak tiga kali yakni dua luka dalam dan satu luka garuk,” jelas Ria saat dihubungi infoBali, Kamis (24/4/2025).
Menurut Ria, setelah digigit, EM tidak mencuci luka sesuai prosedur. Dia juga tak pernah melaporkan kejadian tersebut ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan pelayanan vaksinasi.
Untuk itu, Dinas Kesehatan Kabupaten TTS berupaya terus mengimbau warga untuk waspada terhadap gigitan anjing. Apalagi, TTS merupakan kabupaten yang ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) Rabies sejak 2023.
“Kami tetap mengimbau agar masyarakat tetap waspada terhadap anjing yang diduga rabies, dan juga mencuci tangan serta melaporkan ke fasilitas kesehatan bila digigit anjing,” tutur Ria.
Kronologi Muncul Gejala Rabies
Ria juga menjelaskan kronologi EM dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas Niki-Niki dengan gejala rabies pada pukul 08.00 Wita, Sabtu (12/4/2025). Saat itu, EM mengeluh nyeri ulu hati dan muntah-muntah. Mulai muncul gejala takut air, cahaya, dan udara.
“Setelah memperoleh informasi tersebut, petugas surveilans menyampaikan untuk melakukan pengkajian lebih mendalam terkait kronologi gigitan dan tata laksana terhadap pasien tersebut setelah digigit,” ujar Ria.
Saat itu, kondisi EM makin parah. Dia berhalusinasi dan memberontak. “Pasien memberontak dan berlari keluar ruangan dan mencabut infus sendiri. Pasien kemudian berlari hingga keluar lingkungan puskesmas dan masuk ke dalam semak-semak,” urainya.
Melihat kejadian itu, Ria berujar, petugas kesehatan langsung menghubungi aparat kepolisian dan TNI untuk membantu mengamankan pasien. EM difiksasi, tapi terus berontak dan melepas ikatan. Dia melarikan diri, mencabut pipa air, dan mengangkat batu besar. Keluarganya memberi air untuk minum tapi menolak.
“Karena kekuatan pasien yang sangat agresif pasien tidak dapat diangkat ke dalam ruangan karena korban juga meludah semua orang yang mendekat sehingga kurang lebih 1 jam pasien berada di depan mes dokter,” beber Ria.
Selanjutnya, pada pukul 17.20 Wita di hari yang sama, EM mengeluh lapar dan meminta makan. “Keluarga kemudian memberi roti dan makanan, tapi pasien tetap tidak bisa meminum air yang diberikan. Sampai dengan pukul 19.00 Wita, korban masih dalam pemantauan dan masih berteriak dalam ruangan,” papar Ria.
Kemudian, pada Minggu (13/4/2025) pukul 01.25 Wita, petugas kesehatan memonitoring ulang kondisi EM yang tampak tenang, tapi berbicara tidak terarah. Akhirnya, berselang dua jam kemudian, EM meninggal dunia.
“Sekitar pukul 04.20 Wita, petugas kesehatan mendapat informasi dari keluarga kalau korban sudah meninggal dunia sejak pukul 03.30 Wita,” tandas Ria.