Pameran Taksu Tak Terduga – Rio Helmi Ungkap Makna ‘Taksu’ dalam Karya Fotografi Hitam Putih

Posted on

Sika Gallery terlihat lenggang pada siang hari. Hanya ada staf yang tengah sibuk di mesin kopi dan seorang lelaki paruh baya yang duduk di seberangnya. Dibandingkan sajian kopi, ada puluhan karya seni yang terasa lebih memanggil.

Seluruhnya hitam dan putih. Terkesan magis nan dramatis, seperti tajuk pamerannya “Taksu Tak Terduga – An Unexpected Radiance”. Ketika melangkahkan kaki dari pintu masuk, beberapa hasil foto yang terpampang menunjukan seorang penari menunggu giliran, keluwesan tangan penari rejang hingga penari tapel yang memandang properti topengnya dengan penuh penghayatan.

Sepintas mungkin akan mengira pameran fotografi ini mengangkat taksu dalam tarian tradisional. Tapi, begitu melihat sisi sebelah barat dan masuk area lebih dalam lagi, seketika akan berubah pikiran.

Terlalu beragam objek jepretan seorang fotografer kenamaan, Rio Helmi, untuk digeneralisir sebagai pameran foto penari. Penari, ritual keagamaan, gunung, hingga siluet yang ditangkap lensa adalah yang diyakini Rio mempunyai ‘taksu’. Lalu, apa itu ‘taksu’?

“Tidak ada bikin kategori ini penari, ini ritual, dan lainnya. Benang merahnya semua adalah taksu. Tidak ada aturan pasti untuk taksu. Bagi seseorang itu taksu, bagi yang lainnya mungkin tidak. Bagi saya, taksu seperti foto Dirah Calonarang itu. Sebelum tampil menari, kami saling bertatapan. Saya bisa merasa dia ada energinya. Bukan kerasukan ya. Tapi, sudah menghayati karakternya. Tidak ada komunikasi verbal antara kami, tapi kekuatannya terasa. I know she’s somebody,” tutur Rio kepada infoBali, Selasa (22/4/2025).

Tak disangka-sangka lelaki yang sejak tadi duduk di sisi timur, seberang barista bekerja, merupakan seorang Rio Helmi. Sambil menyesap iced americano, Rio mengatakan menari sering disebut metaksu.

“Karena dia dinamis, jadi lebih mudah dilihat. Tapi, tidak semua penari itu metaksu,” imbuhnya.

Rio melihat taksu justru pada momen-momen yang terlewatkan orang. Seperti foto penari yang menunggu gilirannya tampil, penari memandangi tapel untuk menghayati peran, gunung agung selain karena tempat Toh Langkir, juga pusat belajar volkano.

Lima puluh tahun berkarir dalam dunia fotografi telah melatih kepekaan pria kelahiran 1954 itu. Keseharian masyarakat Bali yang biasa mampu diubahnya menjadi luar biasa. Taksu dalam sudut pandangnya pun dalam rupa yang berbeda, bahkan tak terduga. Menurutnya, bepergian rikala fajar maupun melihat hiruk pikuk dunia pada jam sibuknya dengan tanpa prasangka adalah kunci.

Supaya pengunjung semakin merasakan ‘taksu’, karya-karya dari pria keturunan Indonesia-Turki ini dibuat dengan teknik gumoil pada hahnemuhle archival cotton paper. Teknik gumoil merupakan metode cetak alternatif yang menggabungkan proses fotografi dengan seni cetak manual. Walhasil, karya bisa bertekstur, berdimensi, dan unik secara artistik.

“Ini pertama kali pameran dengan teknik gumoil. Saya memang senang eksplorasi. Saat negatifnya muncul pada proses pencetakan, maka ditimpa cat minyak hitam. Dengan teknik ini bisa personal atur terang-gelapnya. Ini yang kasi efek dramatisnya,” jelas pria yang menetap di Bali sejak 1978 itu.

Tidak hanya taksu, pengunjung juga berkesempatan melihat Bali tempo dulu hingga sekarang. Ini karena rentang waktu semua foto yang ditampilkan mulai dari tahun 1970-an hingga 2025. Sisi personal fotografer turut dihadirkan lewat foto-foto Gunung Agung, tempat Rio menjadi relawan kebencanaan selama dua tahun dan upacara kematian Lempad, sosok seniman yang menjadi tempat Rio belajar.

“Tangan-tangan memegang abu Lempad itu keluarganya yang saya kenal. Dulu saya bekerja berkaitan dengan Lempad. Ketemu Lempad saat (dia) sudah tua. Waktu itu saya belum lancar berbahasa Bali”, kenang Rio.

Pameran “Taksu Tak Terduga – An Unexpected Radiance” bisa dikunjungi secara gratis hingga 25 April mendatang, dari pukul 10.00 Wita sampai 17.00 Wita. Beralamat di Jalan Raya Campuhan, Ubud, Gianyar, pengunjung disarankan tidak membawa mobil karena area parkir hanya bisa menampung motor.

Waktu tempuh dari Denpasar sekitar 60 menit akan sepadan dengan menikmati karya fotografer yang sudah pernah pameran di Jakarta, Madrid, Miyazaki Palo Alto, San Fransisco, dan Sydney ini. Apalagi, bisa sambil menikmati segelas kopi. Pengunjung juga bisa membawa pulang salah satu foto dengan harga mulai dari Rp 25 juta.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *