Polemik Hotel Putar Murotal Alquran Tetap Ditagih Bayar Royalti

Posted on

Tak terdengar lagi lantunan ayat-ayat Alquran di Hotel Grand Madani, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selama ini, salah satu hotel syariah itu memang tak memperdengarkan suara riuh musik-musik Indonesia maupun Barat. Melainkan, memutar rekaman murotal.

Namun, kali ini suasana terasa senyap. Manajemen hotel tak lagi memutar murotal gara-gara ada tagihan royalti dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Jumlahnya sebesar Rp 4,4 juta.

“Rp 4,4 juta kalau sama PPN. Deadline-nya nggak ada (tenggat bayar), tapi itu tagihan untuk tahun ini, 2025,” jelas General Manager (GM) Grand Madani Hotel, Rega Fajar Firdaus, saat dihubungi infoBali, Kamis (21/8/2025).

Setelah ditagih royalti, manajemen Hotel Grand Madani memutuskan untuk menghentikan pemutaran murotal di area hotel. Langkah itu diambil menyusul polemik soal kewajiban pembayaran royalti musik dan rekaman.

“Kami off kan dulu, nggak memutar murotal dulu. Biasanya (selain murotal) instrumen tanpa vokal, seperti musik-musik Arabika,” ungkap Rega.

Alasan LMKN, Murotal Tergolong Fonogram

Rega menjelaskan berdasarkan penjelasan LMKN, rekaman murotal masuk kategori fonogram yang dilindungi hak cipta. Karena itu, penggunaannya di ruang publik turut dikenakan royalti.

“Fonogram memiliki hak cipta di rekaman dan itu masuk ke dalam pasar atau Undang-Undang (UU) fonogram hak ciptanya. Sehingga masuklah ke royalti,” sambungnya.

Menurutnya, tagihan royalti musik untuk hotel baru terjadi pada tahun ini. Sebelumnya tidak pernah ada tagihan tersebut.

“Baru tahun ini saja (mulai ada tagihan),” ucapnya.

Manajemen Butuh Kejelasan Sebelum Bayar Royalti

Rega mengaku belum membayar tagihan royalti dari LMKN sebesar Rp 4,4 juta tersebut. Ia menyebut manajemen masih menunggu kejelasan aturan dari pemerintah pusat, mengingat regulasi terkait pembayaran royalti masih dalam proses revisi.

“Kami tunggu (aturan) selesai. Kalau memang kami harus bayar, dan UU mengatakan sudah ada aturan hukumnya, ya kami akan bayar,” tegas Rega.

Di sisi lain, Rega mengaku para tamu kerap bertanya alasan mutoral tidak lagi diputar. Namun, hal tersebut tidak memengaruhi tingkat hunian hotel.

“Tidak berpengaruh pada tingkat hunian kamar. Karena hotel itu menjual kamarnya, musik hanya tambahan saja,” pungkas Rega.

Hotel-hotel Dapat Tagihan Mendadak

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM) I Made Adiyasa mengaku sejumlah pengusaha hotel di Mataram mendadak mendapatkan surat tagihan royalti musik dari LMKN.

“Teman-teman hotel sudah disurati, karena menurut LMKN, semua usaha yang menyediakan sarana hiburan seperti musik wajib (bayar royalti). (Teman-teman di hotel) sudah komentar kalau hotel nggak mutar musik, tapi jawaban mereka (LMKN), kan di kamar ada TV, TV itu bisa dipakai mendengarkan musik oleh tamu. Itu argumen mereka (LMKN),” katanya saat dikonfirmasi, Senin (11/8/2025).

Menurut Adiyasa, para pengusaha hotel di Mataram mengaku bingung dengan kewajiban membayar royalti musik. Padahal, hotel-hotel di Mataram tidak pernah menggunakan musik seperti yang biasa dilakukan restoran atau kafe-kafe.

“Itu argumen mereka (LMKN), (jadi pihak hotel harus bayar royalti lagu) berdasarkan jumlah kamar, kalau resto atau kafe kan bayarnya berdasarkan jumlah kursi. Nah, kalau hotel dari 0-50 kamar dikenai berapa, dan hotel dengan 50-100 kamar akan dikenai berapa,” jelasnya.

Selain ditagih secara mendadak, para pengusaha hotel di bawah naungan AHM dinilai Adiyasa mengaku tidak nyaman dengan cara penagihan pihak LMKN.

“Dari cerita teman-teman hotel, cara nagihnya itu seperti kita ini berutang (besar). (Ditanyai) kapan bayarnya. Untuk sementara ini saya minta teman-teman hotel yang dikirimi tagihan untuk minta ruang diskusi kepada LMKN,” tandasnya.

Manajemen Butuh Kejelasan Sebelum Bayar Royalti

Rega mengaku belum membayar tagihan royalti dari LMKN sebesar Rp 4,4 juta tersebut. Ia menyebut manajemen masih menunggu kejelasan aturan dari pemerintah pusat, mengingat regulasi terkait pembayaran royalti masih dalam proses revisi.

“Kami tunggu (aturan) selesai. Kalau memang kami harus bayar, dan UU mengatakan sudah ada aturan hukumnya, ya kami akan bayar,” tegas Rega.

Di sisi lain, Rega mengaku para tamu kerap bertanya alasan mutoral tidak lagi diputar. Namun, hal tersebut tidak memengaruhi tingkat hunian hotel.

“Tidak berpengaruh pada tingkat hunian kamar. Karena hotel itu menjual kamarnya, musik hanya tambahan saja,” pungkas Rega.

Hotel-hotel Dapat Tagihan Mendadak

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM) I Made Adiyasa mengaku sejumlah pengusaha hotel di Mataram mendadak mendapatkan surat tagihan royalti musik dari LMKN.

“Teman-teman hotel sudah disurati, karena menurut LMKN, semua usaha yang menyediakan sarana hiburan seperti musik wajib (bayar royalti). (Teman-teman di hotel) sudah komentar kalau hotel nggak mutar musik, tapi jawaban mereka (LMKN), kan di kamar ada TV, TV itu bisa dipakai mendengarkan musik oleh tamu. Itu argumen mereka (LMKN),” katanya saat dikonfirmasi, Senin (11/8/2025).

Menurut Adiyasa, para pengusaha hotel di Mataram mengaku bingung dengan kewajiban membayar royalti musik. Padahal, hotel-hotel di Mataram tidak pernah menggunakan musik seperti yang biasa dilakukan restoran atau kafe-kafe.

“Itu argumen mereka (LMKN), (jadi pihak hotel harus bayar royalti lagu) berdasarkan jumlah kamar, kalau resto atau kafe kan bayarnya berdasarkan jumlah kursi. Nah, kalau hotel dari 0-50 kamar dikenai berapa, dan hotel dengan 50-100 kamar akan dikenai berapa,” jelasnya.

Selain ditagih secara mendadak, para pengusaha hotel di bawah naungan AHM dinilai Adiyasa mengaku tidak nyaman dengan cara penagihan pihak LMKN.

“Dari cerita teman-teman hotel, cara nagihnya itu seperti kita ini berutang (besar). (Ditanyai) kapan bayarnya. Untuk sementara ini saya minta teman-teman hotel yang dikirimi tagihan untuk minta ruang diskusi kepada LMKN,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *