Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) menyarankan Gubernur Bali Wayan Koster untuk menyasar produk kemasan plastik lainnya, bukan hanya melarang produksi Air Mineral Dalam Kemasan (AMDK) saja.
Koordinator Sensus Sampah Plastik BRUIN, Muhammad Kholif Basyaiban, mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali harus merujuk pada peraturan undang-undang seperti UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Undang-undang tersebut mengamanatkan tanggung jawab produsen dalam pengelolaan limbah.
Selain itu, ada beberapa peraturan seperti Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019.
“Jadi pastinya rujukan surat edaran, perpu, perda, pergub, itu semuanya rujukannya adalah Undang-Undang Pengeolaan Sampah dan Permen LHK itu dan di sana tidak ada unsur diskriminatif hanya menyasar sampah plastik tertentu saja tapi untuk semua jenis sampah plastik,” kata Kholid dalam rilis yang diterima infoBali, Senin (14/7/2025).
“Yang lebih penting adalah kebijakan tegas yang memaksa produsen bertanggungjawab atas dampak yang mereka timbulkan,” sambung dia.
Kholid juga menyarankan Koster untuk menghimpun data dari beberapa lembaga di bidang persampahan, tidak hanya satu lembaga saja sebagai patokan.
“Jadi tidak boleh hanya mengutip dari satu NGO saja. Karena hasil riset sampah yang dilakukan para NGO di Bali itu berbeda-beda, tergantung wilayah risetnya,” jelas Kholid.
Dia menilai Surat Edaran tentang Gerakan Bali Bersih Sampah hanya menyasar ke produk AMDK saja, tidak ke seluruh produk plastik lainnya.
“Padahal kalau kita ngomongin prioritas sampah plastik di Bali itu, produk AMDK ini malah hanya menjadi nomor tiga saja penyebab sampah di sana. Apalagi sampah-sampah plastik AMDK ini kan bisa didaur ulang,” terang Kholid.
Oleh sebab itu, Kholid menilai aneh jika produk AMDK dilarang. Padahal, AMDK banyak dicari oleh para pengepul untuk dijual lagi sebagai sumber ekonomi dibandingkan plastik lain.
Berdasarkan data BRUIN selama tiga tahun terakhir, hasilnya menunjukkan sampah unbranded berada di posisi tertinggi dengan 42 persen, diikuti sampah saset 44 persen, dan AMDK hanya 15 persen.
“Sampah AMDK hanya itu hanya urutan ketiga. Jadi kalau mau melakukan pelarangan itu, ya seharusnya sampah-sampah plastik yang unbranded dan saset lah,” tandasnya.