Peran kepala keluarga tak selalu dimiliki oleh laki-laki. Paling tidak, ini yang terjadi di Desa Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Memasuki musim hujan yang menjadi tanda dimulainya musim tanam seperti saat ini, perempuan Desa Mbawa akan menjadi kepala keluarga.
Mereka tidak hanya mengurus keluarga dan menenun seperti biasa, tetapi juga mencari nafkah berjualan tenunan dan hasil kebun, menggantikan para suami yang sedang menginap di ladang jagung dan padi. Ini sudah dilakukan sejak turun-temurun dan dari generasi ke generasi.
Desa yang berada di bukit Gunung Leme Donggo ini dikenal sebagai desa yang paling aman, kondusif, dan jauh dari konflik di Bima. Warganya sangat rukun dan harmonis. Padahal, warga di sana menganut tiga keyakinan yang berbeda yakni, Islam, Katolik, dan Kristen Protestan.
Berdasarkan data terakhir, jumlah penduduk Desa Mbawa sebanyak 4.771 jiwa yang terdiri dari 1.201 KK. Mereka tersebar di 10 dusun. Islam menjadi agama terbesar dengan jumlah pemeluk 3.733 jiwa. Perinciannya, 1.871 laki-laki dan 1.862 perempuan.
Kemudian, ada 942 warga menganut Katolik dengan perincian 492 laki-laki dan 50 perempuan. Sisanya, 96 penduduk beragama Kristen Protestan. Terdiri dari 42 laki-laki dan 53 perempuan.
Sejauh ini, harus diakui konflik-konflik horizontal dan vertikal masih lekat dengan Bima. Perang antarkampung hingga aksi blokade jalan sebagai bentuk perlawanan acapkali terjadi. Kerasnya kehidupan dan konflik komunal itu menyebabkan Bima distigma sebagai “zona merah”.
Namun, Desa Mbawa adalah sebuah paradoks. Masalah agama yang jadi pembatas harmonisasi masyarakat, tidak lantas membuat warga Desa Mbawa berkonflik.
Namun, hal itu bukan sesuatu yang aneh. Solidaritas dan budaya gotong royong yang kental menyebabkan warga saling membantu satu sama lain, meski berbeda latar belakang keturunan, keyakinan, hingga status sosial. Hal ini terjadi juga di kalangan perempuan di sana. Perempuan-perempuan tanah Mbawa merupakan penjaga perdamaian. Mereka punya andil besar dalam pengambilan keputusan di desa kecil itu.
Satu dari Prempuan Mbawa adalah Marta Hajnah. Perempuan berusia 56 tahun ini adalah panutan bagi perempuan Mbawa. Marta merupakan istri dari Yosep Ome (58), generasi ketujuh dari Ncuhi atau Kepala Suku Adat Mbawa.
Menurut Marta, rukun dan harmonisnya warga Desa Mbawa di tengah perbedaan keyakinan bukanlah hal baru. Akan tetapi, sudah berlangsung lama, jauh sebelum Indonesia merdeka. Kerukunan dan harmonisasi warga mulai dari dari rumah ke rumah hingga meluas ke dusun-dusun.
“Solidaritas, kebersamaan, dan budaya gotong royong di sini cukup kuat. Hal ini sudah berlangsung lama dan diwariskan dari generasi ke generasi,” kata Marta ditemui di kediamannya, di Dusun Kambentu, Desa Mbawa, beberapa waktu lalu.
Bagi Marta, warga Mbawa tidak memiliki jarak meski berbeda keyakinan. Silaturahmi atau bertamu ke rumah tetangga yang berbeda keyakinan adalah hal biasa yang dilakukan secara rutin. Mereka saling berbaur apa adanya, tidak pernah memandang status sosial dan keyakinan.
“Setiap ada acara hajatan, dan kegiatan sosial kemasyarakatan, warga biasanya saling patungan. Kadang membawa beras, daging, hingga uang. Tidak ada yang membedakan, bahkan sudah menjadi kebiasaan warga di sana, saling bersilaturahmi, untuk saling menemui satu sama lain,” ucapnya.
Wa’i Jana, sapaan akrab Marta, mengungkapkan rahasia dan kunci rukun dan harmonisnya warga Desa Mbawa, yakni saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Bahkan, ada yang lebih ‘ekstrem.’ Perpindahan keyakinan bukan hal tabu. Seorang anak yang ingin keluar dari agama dan memilih menganut agama lain karena faktor pernikahan tidak dimarahi.
“Setiap ada persoalan dan masalah tidak berkutat kepada pemuka agama, dan pemerintah. Karena di sini ada tetuanya sendiri yang menyelesaikan,” ungkap Marta.
Ia ingin agar hal itu terus diwariskan kepada generasi muda. Bersama ibu-ibu lainnya, dia sempat membentuk komunitas. Sayangnya, perkumpulan itu jalan di tempat hingga akhirnya bubar di tengah jalan karena minimnya keterlibatan kaum muda.
“Perhatian pemerintah juga minim. Padahal di sini kita punya potensi, salah satunya menenun. Namun, tidak maksimal lantaran tidak ada kegiatan berkelanjutan,” ujarnya.
Peran perempuan Mbawa di halaman selanjutnya
Siti Hawa adalah salah seorang perempuan yang mengenal betul adat istiadat klan Mbawa secara turun-temurun. Dia mengungkapkan para perempuan di Desa Mbawa, terutama yang sudah bersuami, memiliki peran yang cukup strategis di internal keluarga. Misalnya, saat hendak menggelar acara pernikahan hingga syukuran atau kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya, mereka kebanyakan menjadi juru bicara.
“Saat akan menggelar acara (syukuran) atau kegiatan apapun, sejumlah perempuan yang sudah ditunjuk akan mendatangi satu per satu warga. Menyampaikan rencana serta kebutuhan untuk acara atau kegiatan yang akan digelar,” ujar perempuan 60 tahun ini.
Menurut dia, rutinitas tersebut sudah dilakukan sejak dulu, secara turun-temurun. Tidak memandang keyakinan maupun status sosial. Sebab, dalam benak warga Desa Mbawa, orientasi mencari uang adalah untuk naik haji bagi yang muslim.
Mereka juga bersemangat agar anaknya bisa sekolah hingga sarjana. Sementara itu, warga Mbawa beragama Katolik dan Protestan biasanya berorientasi agar anak mereka bisa menjadi tentara atau polisi.
“Kalaupun ada kekurangan uang, kami patungan. Misalnya keluarga yang di sini, ingin naik haji dan anaknya butuh uang untuk kuliah, kami bantu sesuai kemampuan. Yang di sana butuh uang untuk menjadi TNI/Polri, ya sama dibantu juga. Tidak dibeda-bedakan,” ujar Siti Hawa.
Sayangnya, dalam urusan pemerintahan di tingkat desa, para perempuan di Desa Mbawa jarang dilibatkan. Misalnya, saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrebangdes) yang digelar dalam setahun sekali.
“Kami dirangkul pada saat musim pilkades, pilkada, dan pemilihan calon anggota DPRD saja. Jarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan,” tandas Siti Hawa.
Kepala Suku Mbawa (Ama Ncuhi), Yosep Ome, mengatakan warga Desa Mbawa awalnya berasal dari generasi sama atau satu keturunan sama, yang disebut Rafu.
Kini mereka memiliki keyakinan yang berbeda, yakni Islam, Protestan dan Katolik. Di sana mereka memiliki hukum adat. Yakni, hukum adat terkait persiapan persiapan menanam, pernikahan, dan sosial kemasyarakatan.
“Kadang anak yang Islam. Bapak Katolik. Begitupun sebaliknya, bapaknya Islam tapi anaknya kristen,” imbuh Yoseph Ome, diwawancarai infoBali, beberapa waktu lalu.
Faktor itu yang memperkuat kerukunan dan persatuan antarumat beragama di Desa Mbawa sejak bertahun-tahun, di tengah perbedaan keyakinan adalah satu keturunan. Biasanya yang pindah ke agama lain, karena alasan pernikahan menikah tidak akan tinggal bersama.
“Untuk mempersatukan warga, nama-nama juga dipadukan antara nama baptis dan nama lokal Bima, seperti Thomas Hamu, Lukas Abakar, dan Imanuel Ibrahim,” ulasnya.
Sejarawan Bima, Fahru Rizki mengatakan masyarakat adat Mbawa memiliki rumah adat yang disebut Uma Leme. Namun, nama ini baru dikenal belakangan, karena dulunya dikenal Uma Ncuhi. Ini menjadi lokasi untuk mempertahankan tradisi-tradisi leluhur komunitas Mbawa, seperti Raju, Numpu Karodo, dan pertemuan masyarakat adat Mbawa.
Fahru mengulas pada abad ke-18, warga Mbawa memiliki komunitas sendiri yang dipimpin oleh Ncuhi serta menganut kepercayaan pagan atau Parafu Ro Waro.
Pertama kali, Kristen dan Katolik menyebar dan dianut sebagian komunitas Mbawa sekitar 1821 oleh misionaris. Sementara, agama Islam baru ada sekitar 1934 silam.
Sesuai hasil risetnya tentang Komunitas Mbawa (Protestan dan Katolik), Fahru bercerita pernah ada konflik antara komunitas O’o dan Kala yang beragama Islam pada 1970. Penyebabnya sepele, hanya gara-gara warga kehilangan sandal. Diceritakan, saat itu sandal milik seorang warga beragama islam hilang saat bertamu di rumah warga Desa Mbawa.
“Sandal yang hilang ini dicurigai diambil oleh warga Mbawa,” kata Fahru, diwawancarai infoBali, belum lama ini.
Hilangnya sandal itu, memunculkan perdebatan sengit, dan konflik berdarah hingga banyak jatuh korban. Warga Islam dari O’o dan Kala bersekutu menyerang komunitas Mbawa.
Karena terancam, kaum laki-laki Mbawa terpaksa mengungsi ke gunung dan hutan selama dua hari. Mereka meninggalkan para perempuan dan anak-anak di rumah. Di sinilah kaum perempuan Mbawa memiliki peran besar.
“Selain menjaga rumah dan kampung, para perempuan Mbawa menjadi aktor perdamaian dan mereduksi konflik dan kerusuhan agar tidak meluas. Misalnya, berperan mencarikan solusi perdamaian dengan cara menemui langsung tokoh-tokoh penting kedua kubu yang berkonflik untuk diajak berdialog hingga mendorong penyelesaian konflik,” urai Fahru.
Simbol perempuan Mbawa di halaman berikutnya
Di sisi lain, para perempuan Mbawa turut menjadi korban dalam konflik berdarah itu. Mereka dipersekusi dan mendapat pelecehan.
“Meski begitu, perempuan Mbawa saat itu tidak ikut terprovokasi dan terpancing dengan hinaan dan pelecehan keyakinan yang mereka anut. Mereka tetap beraktivitas normal setiap hari, hingga adanya islah pihak yang bertikai,” ulasnya.
Beruntung, masa-masa kelam itu tidak terulang lagi. Sampai sekarang, Desa Mbawa jauh terdengar dari konflik. Warganya sangat rukun.
Sebagai simbol perdamaian, kedua kubu yang berkonflik menggelar syukuran dengan memotong ayam dan kambing di gereja serta masjid. Sejak saat itu sampai sekarang, komunitas Mbawa rukun dan aman. Warga yang berbeda keyakinan tetap melakukan aktivitas seperti biasa, yakni mengandalkan sektor pertanian, peternakan, dan perkebunan.
Berdasarkan riset, kaum perempuan Mbawa memiliki posisi strategis dan istimewa dalam komunitas Mbawa, terutama Wai Ncuhi, panggilan Marta. Dari ritual yang dilakukan seperti Raju dan Numpu Karodo menjelang musim tanam di Uma Leme. Ina Wai, sebutan lain Marta, dipercaya sebagai simbol kesejahteraan dan kesuburan.
“Jadi saat ritual Raju, terutama numpu karodo, kaum perempuan banyak dilibatkan. Perempuan yang menumbuk ini dianggap simbol kesejahteraan, sedangkan Wai Ncuhi diangap simbol kesuburan,” ungkapnya.
Prosesi itu masih dipertahankan sampai saat ini. Namun, belakangan, mulai sekitar 2011, sudah mengalami pergeseran. Prosesi ritual dan tradisi komunitas hanya melibatkan kalangan tua. Jarang anak muda dan remaja yang terlibat.
“Di sana yang para tetua juga masih dihormati dan dihargai. Tidak hanya dari pemuka agama,” terang Fahru.
Perempuan juga memiliki pengaruh yang kuat dalam klan keluarga komunitas Mbawa. Saat ada syukuran dan kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya semua keputusan ada di tangan perempuan. Mulai dari penentuan lokasi syukuran dan hajatan, sampai dengan waktu pelaksanaannya.
“Sebelum melaksanakan hajatan, mereka berkumpul di satu rumah. Menentukan waktu dan lokasi kegiatan,” tutup Fahru.