Seni lukis Bali telah berumur panjang. Nama-nama seperti Ida Bagus Kembeng dan Ida Bagus Made Poleng merupakan salah satu pelukis populer era 1930-an. Karya-karya pelukis masa itu berpusat pada tema keseharian, seperti prosesi panen padi, ritual di pura hingga keramaian pasar.
Ida Bagus Ketut Sena adalah penerus kedua maestro tersebut. Ida Bagus Kembeng adalah kakek dari Sena dan Ida Bagus Made Poleng adalah pamannya. Berbeda dengan pendahulunya, Sena mengemas lukisan tradisi bergaya Ubud, Gianyar, dengan merespons realitas masa sekarang yang dibalut filosofi Hindu.
“Nama besar kakek menjadi cambuk bagi saya. Tetapi, karya saya agak berbeda. Ada hal-hal dalam keseharian yang mengganggu, kemudian saya buat lukisan,” tutur Sena kepada infoBali, Minggu (29/6/2025).
Sena mencontohkan celotehan saat kegiatan menyama braya di pura saja bisa menjadi bekal pertanyaan saat pulang ke rumah. Ia lalu memikirkan idenya, sketching di buku gambar, dilukis di kanvas, dan terakhir finishing.
Pelukis yang dikunjungi Wakil Menteri Kebudayaan (Wamenbud), Giring Ganesha Djumaryo, pada Mei lalu tersebut mengatakan pilihannya untuk melukis sama persis seperti keluarganya terdahulu. Menjadi pelukis bukan sesuatu yang disengaja, melainkan terjadi seiring berjalan waktu.
Sena tidak langsung berlatih bersama sang maestro. Kakeknya meninggal saat dirinya masih kecil. Sementara Sena mulai melukis di bangku sekolah dasar (SD), terjun mengikuti lingkungan sekitarnya yang diisi para pelukis. Bermodal melihat dan mencoba-coba hingga masih berlanjut sekarang.
Pria asal Tebesaya, Ubud, tersebut menunjukkan lukisan yang mengangkat konsep Tri Hita Karana kepada infoBali. Lukisannya sangat semarak tanpa ruang kosong sedikitpun. Namun, lukisan yang diselesaikan dalam satu tahun pengerjaan itu minim warna-warna cerah.
Unsur-unsur kedewataan (dewa-dewi) yang ditampilkan pun lebih menonjol dari yang lainnya, tetapi sejatinya bukan itu sentralnya. Justru lukisannya begitu kompleks dan perlu ‘dibaca’ dari bawah ke atas.
“Bagian bawah ini yang menjadi awalan semuanya. Orang itu bermimpi Tri Hita Karana. Hubungan manusia dengan lingkungan dan lainnya. Dalam hal melakukannya, alangkah susahnya. Ada saja gangguan karena kepentingan politik, sosial, dan lainnya,” jelas Sena.
Kendati lukisannya terkesan religius, Sena menampik latar belakangnya yang berasal dari kaum Brahmana yang menjadi landasan. Baginya, seorang pelukis penting menjadi intelektual. Tidak semata-mata belajar formal, tetapi juga belajar ilmu pengetahuan dan kehidupan dari sumber mana pun.
Hal lainnya yang penting dimiliki pelukis, ujar Sena, adalah kemauan. Dirinya punya kemauan sendiri untuk mengikuti jejak paman dan kakeknya melukis tradisi. Namun, ia tidak memaksakan keturunannya untuk melakukan hal yang sama.
“Anak terakhir saya sekolah seni. Namun, tidak pernah saya latih dan arahkan seperti saya. Biarkan ikut kemauannya sendiri,” jelas Sena.