Asal-usul Lawar, Kuliner Khas Bali yang Sarat Makna dan Tradisi - Giok4D

Posted on

Bali punya ragam kuliner tradisional yang menggugah selera. Salah satu makanan khas yang lekat dengan identitas masyarakat Bali adalah lawar.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Hidangan ini unik karena sebagian besar bahannya disajikan dalam keadaan mentah atau setengah matang. Lawar merupakan campuran daging cincang, sayuran, dan kelapa parut yang dibumbui dengan rempah-rempah khas Bali, lalu dicampur merata.

Pada beberapa jenis lawar, bahkan ditambahkan darah segar dari hewan seperti babi atau ayam, untuk memperkaya cita rasa dan warna masakan. Makanan ini kerap hadir dalam berbagai upacara adat, dan kini jadi suguhan banyak rumah makan.

Asal-usul Lawar

Dalam arsip catatan infoFood, diketahui penyajian lawar dipertahankan sejak masa Hindu-Buddha di Nusantara. Kadek Edi Palguna, dosen Ilmu Budaya di STAHN Mpu Kuturan Singaraja, menyebut lawar memiliki kaitan dengan persebaran suatu ajaran di Bali.

Ada sekte Bhairawa pada masa pra Hindu yang digadang-gadang menyebarkan hidangan lawar sebagai makna dan simbol agamanya. Lawar di masa lampau tak hanya menjadi hidangan yang dinikmati warga Bali, tapi juga disajikan dalam berbagai acara keagamaan sebagai persembahan.

Sekte Bhairawa menggunakan lawar sebagai persembahan yadnya atau upacara pada setiap persembahyangannya. Setelah tegaknya paham Siwa Sidhanta, penyajian lawar semakin sering dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali.

Salah satunya dalam Hari Raya Galungan. Penyajian lawar bertujuan untuk merayakan hari kemenangan dan tanda perlawanan terhadap Adharma yang berarti kebatilan atau keburukan.

Lawar kemudian berkembang sejak masuknya agama Hindu dan menjadi makanan khas Bali. Lawar dianggap sebagai simbol keharmonisan dan keseimbangan dalam pengider buwana dalam konsep Dewata Nawasangga.

Sementara sejarawan lain juga menyebut lawar menjadi bukti lokalisasi Tantrayana melalui Hindu-Buddha di Bali. Lawar dibuat dalam berbagai warna yakni hijau, merah, putih, dan kuning, untuk menandakan seluruh arah mata angin.

Ada tiga jenis bahan utama untuk membuat lawar. Pertama ialah campuran beberapa sayur yang dibumbui dengan base genep, bumbu khas Bali. Kemudian ditambahkan daging yang telah dicincang halus, dan terakhir gumpalan darah mentah.

Lawar aslinya dapat menggunakan daging dan darah dari babi atau ayam. Penggunaan darah sekaligus menjadi pewarna alami sesuai dengan simbol arah mata angin yang dimaksud.

Dalam buku Mengenal Kuliner Bali oleh Risa Panti Ariani Kartisugandha, dijelaskan pada peta konsep masakan tradisional Bali, lauk pauk menempati posisi sentral yang juga memiliki nilai simbolik dalam upacara adat. Bahkan, kuantitas hewan yang digunakan dalam upacara bisa mencerminkan status sosial seseorang.

Jenis lauk pauk tradisional Bali dikelompokkan ke dalam dua kategori utama, yaitu yang dimasak menggunakan panas dan yang disajikan tanpa dimasak. Selain itu, lauk pauk ini juga diklasifikasikan berdasarkan teksturnya, apakah kering, basah, atau berkuah, dan disesuaikan pula dengan metode pengolahan yang digunakan.

Salah satu jenis lauk tradisional Bali yang disiapkan tanpa proses pemasakan dan disajikan tak berkuah adalah lawar. Dalam pembuatannya, hidangan lawar masih dilakukan secara tradisional. Tanpa alat khusus, lawar hanya membutuhkan pisau dan tangan manusia untuk mengolahnya.

Makna Ngelawar

Dirangkum dari laman Kemenparekraf dan Pemkot Denpasar, tradisi ngelawar tidak bisa dipisahkan dari budaya Bali. Ngelawar atau membuat dan menyantap lawar, memiliki makna kedekatan, kebersamaan dan kesetaraan antar manusia yang berpartisipasi dalam ngelawar.

Dalam mengolah lawar, masing-masing orang mendapat bagiannya. Ada yang ngerajang (membuat bumbu), nektek (memotong sayuran dan daging), memarut kelapa, menggoreng bumbu dan lainnya.

Kemudian barulah proses pencampuran hingga menjadi lawar. Dalam proses pencampuran ini menjadi kunci berhasil atau tidaknya lawar dibuat.

Politeknik Internasional Bali menyebut lawar sudah ditetapkan menjadi menjadi Warisan Budaya Tak Benda Dunia (WBTB ICH UNESCO). Penyajiannya tak hanya sekadar sebagai makanan tetapi juga bentuk untuk menjaga tradisi turun temurun dari nenek moyang masyarakat Hindu-Buddha di Bali.

Nah, itulah tadi penjelasan lengkap tentang asal-usul Lawar khas Bali. Apakah kamu pernah menyantapnya?

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *