6 Kabupaten di NTT Masuk Zona Merah Bom Ikan, 27 Tersangka Ditangkap

Posted on

Direktorat Kepolisian Air dan Udara (Ditpolairud) Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) menindak 17 kasus pengeboman ikan di wilayah perairan NTT sejak 2023 hingga awal 2025. Sebanyak 27 tersangka telah diamankan dan sebagian sudah menjalani hukuman.

Direktur Polairud Polda NTT Kombes Irwan Deffi Nasution mengungkapkan, dari total 17 kasus tersebut, enam di antaranya terjadi pada 2023, tujuh kasus pada 2024, dan empat kasus pada awal 2025.

“Jadi total kasus bom ikan pada 2023 di NTT ada enam kasus, tahun 2024 tujuh kasus dan tahun 2025 ada empat kasus dengan melibatkan 27 pelaku,” ungkap Irwan dalam konferensi pers di Mako Polairud Polda NTT, Jumat (25/4/2025).

Irwan merinci, kasus-kasus itu tersebar di beberapa wilayah. Pada 2023, tercatat tiga kasus terjadi di Kabupaten Flores Timur, satu kasus masing-masing di Kabupaten Sikka, Ende, Manggarai Barat, dan Kupang. Sementara pada 2024, dua kasus terjadi di Flores Timur, serta masing-masing satu kasus di Sikka, Ende, Manggarai Barat, Kupang, dan Rote Ndao. Sedangkan pada 2025, satu kasus tercatat di Kabupaten Sikka.

“Para tersangka berasal dari berbagai wilayah, mayoritas merupakan nelayan lokal di NTT. Namun, ada juga beberapa pelaku dari luar daerah seperti Bima, NTB,” kata Irwan.

Pada Maret 2025, Ditpolairud kembali mengungkap kasus baru. Seorang pria berinisial M asal Makassar ditangkap saat membawa 102 detonator ke Manggarai Barat menggunakan kapal motor. Irwan menyebut pria tersebut kini telah ditetapkan sebagai tersangka.

“Ada kecurigaan makanya anggota saya amankan. Setelah diperiksa, benar saja ada detonator di atas kapalnya dan sekarang sudah kami limpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT,” jelasnya.

Polisi masih menyelidiki siapa pemilik sekaligus otak utama dari penyelundupan ratusan detonator tersebut. Detonator itu, kata Irwan, dirakit kembali menjadi 800 pipet yang didistribusikan ke nelayan untuk melakukan pengeboman ikan.

“Kami masih memburu siapa otak dibalik kasus ini dan siapa pemberi modalnya. Sehingga penerapan hukuman di lapangan bukan saja pada pelaku yang ditangkap tangan tetapi target utama juga adalah orang yang memberi modal dan menyediakan detonator,” terang Irwan.

Menurut Irwan, para pelaku kerap merakit alat pengebom ikan dari bahan-bahan sederhana seperti obat nyamuk yang dicampur dengan detonator dan disimpan dalam botol kemasan. Ada juga yang menggunakan jeriken sebagai alat ledak yang dipicu dengan aki.

“Daya ledakan yang cukup besar, dapat menyebabkan kematian ikan dalam jumlah banyak dan sangat merusak biota laut,” pungkas Irwan.

Dalam hasil pemetaan Ditpolairud, ada enam kabupaten di NTT yang tergolong rawan terjadinya praktik bom ikan, yaitu Kabupaten Kupang, Flores Timur, Sikka, Ende, Manggarai Barat, dan Rote Ndao.

“Setelah kami lakukan analisa dan evaluasi, ada enam lokasi yang sangat rawan terjadinya bom ikan di NTT,” ujar Irwan.

Untuk mencegah meluasnya praktik ini, Ditpolairud terus menggencarkan patroli di wilayah-wilayah perairan tersebut. Irwan menegaskan bahwa sebagian besar alat peledak dirakit secara mandiri oleh pelaku, hanya sebagian kecil yang berasal dari pabrik.

“Hal ini yang mereka gunakan untuk menangkap ikan dalam jumlah banyak untuk keuntungan pribadi, tetapi mengakibatkan kerugian negara berupa kerusakan biota laut,” tegasnya.

Pengungkapan Kasus Terbaru: 102 Detonator Diamankan

6 Kabupaten Zona Merah Bom Ikan di NTT