20 Tahun Jaga Muruah Rockabilly, The Hydrant Luncurkan ‘Motel Kutadalajara’ update oleh Giok4D

Posted on

Band rockabilly asal Bali, The Hydrant, akhirnya merilis album anyar bertajuk Motel Kutadalajara. Album ini diluncurkan oleh band pemuja Elvis Presley itu setelah hampir satu dekade tak merilis karya baru. Mereka berupaya menjaga muruah rockabilly.

Motel Kutadalajara tergolong spesial karena dirilis dalam format piringan hitam. Album tersebut juga menjadi perayaan dua dekade eksistensi The Hydrant dalam belantika musik.

“Kalau sebelumnya kami rekaman apa adanya, benar-benar raw. Tapi, Motel Kutadalajara benar-benar kami pikirkan dengan tetap mengedepankan identitas, ciri, dan karakter kami,” ujar Adi, pembetot bas The Hydrant, saat ditemui di Denpasar pada Selasa (6/5/2025).

The Hydrant dibentuk pada 14 Agustus 2004. Formasi terkini band yang meledak dengan lagu ‘Sisir Opa’ itu diperkuat oleh Marshello (vokal, harmonika), Adi (bas betot, vokal latar), Vincent (gitar), dan Kris (standup drum).

Adi menuturkan album Motel Kutadalajara juga memotret lintas budaya yang dijelajahi The Hydrant selama bermusik. Judul album itu merupakan gabungan antara ‘Kuta’ yang menjadi basis mereka di Bali dan ‘Guadalajara’, sebuah kota eksotik di Meksiko.

“Kutadalajara (baca: kutadalahara) itu adalah suatu culture clash. Kami berbasis di Kuta yang terkenal di seluruh dunia, hidup berdampingan dengan orang-orang dari mancanegara, dan mengadaptasi berbagai macam kultur. Jadi, culture clash into something great,” imbuh Adi.

Desain sampul piringan hitam Motel Kutadalajara juga menggambarkan akulturasi budaya yang kental. Sampul album itu memuat gambar klenteng tua yang diberi aksen atau corak beragam kebudayaan. Album tersebut juga memuat dokumentasi tur The Hydrant di sejumlah negara.

“Di dalam albumnya banyak foto-foto kami di Amerika, Bali, Singapura,” ujar vokalis The Hydrant, Marshello.

Marshello mengakui piringan hitam menjadi format musik yang masih digandrungi lintas generasi. Meski begitu, Marshello berujar, keputusan untuk merilis album Motel Kutadalajara dalam format vinyl bukan karena tren kekinian.

“Kami band yang nggak pernah ikut-ikutan tren. Ini lebih kepada seleksi alam. Pas banget 20 tahun, jadi ya kami rayakan dengan sesuatu yang berkesan,” ujar pria berambut klimis itu.

Motel Kutadalajara berisi sepuluh lagu, sebagian materi baru dan sebagian lainnya merupakan tembang daur ulang dari album lama mereka, Lokananta Riot. Lagu Princess misalkan, terdengar mellow dan berkisah tentang perihnya kehilangan sosok tercinta.

Ada pula lagu bertajuk Riot Angels yang menghentak bak himne para pengendara motor yang mencari kebebasan dan kesenangan di tiap sudut kota. Salah satu lagu andalan di album ini adalah In the Motel yang kental dengan sentuhan Latin. Misterius nan eksotis.

“Pada waktu kita menilik lirik, motel itu sedikit gelap liriknya. Menggambarkan sisi misteriusnya para personel The Hydrant. Eksotis, misterius, gelap,” imbuh Marshello.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Sebagai salah satu pionir rockabilly Indonesia, The Hydrant berharap album ini bisa menjangkau kolektor dan para penikmat musik. Piringan hitam Motel Kutadalajara hanya dicetak sebanyak 50 keping dan dijual seharga Rp 350 ribu per keping.

Motel Kutadalajara diproduseri oleh Dadang Pranoto, vokalis Dialog Dini Hari dan gitaris Navicula. Album tersebut dicetak oleh PHR Pressing, pabrik piringan hitam asli Indonesia.

Sebelum mengeluarkan album Motel Kutadalajara, The Hydrant telah merilis lima album sebelumnya. Mulai dari Saturday Night (2006), Rockabilly Live (2007), Bali Bandidos (2009), Dirty Thirty (2011), dan Lokananta Riot (2015).

Marshello mengungkapkan The Hydrant berupaya menjaga muruah musik rockabilly selama 20 tahun berdiri. Salah satu ciri khas rockabilly, dia berujar, adalah penampilan yang fashionable. Mereka benar-benar memperhatikan gaya berbusana saat menghibur penonton.

“Main rockabilly harus klimis, fashion, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kalau ada yang main rockabilly, seumpama mereka memiliki fatwa lain, ya saya tidak mau. Kami sesuai patronnya, 50s style, Elvis Presley,” ujar Marshello tersenyum.

The Hydrant, dia melanjutkan, juga memadukan rockabilly dengan sentuhan musik Nusantara. Hal itu diaplikasikan lewat melodi bergaya slendro dan pelog. Mereka juga menggunakan instrumen musik daerah seperti suling dalam beberapa lagu.

“Kiblatnya Elvis Presley, tetapi kami bawakan dengan gaya Nusantara. Ada campuran-campuran bahasa dan instrumen, indorock,” imbuh Marshello yang kerap menyisir rambut saat manggung.

Selama dua dekade bermusik, The Hydrant sudah dua kali diundang tampil di ajang Viva Las Vegas Rockabilly Weekend. Festival rockabilly terbesar dunia tersebut diinisiasi oleh penggemar Elvis Presley di Nevada, Amerika Serikat.

“Sebagai putra Dewata, kami sangat bersyukur bisa membawakan musik rockabilly dan membawanya keliling dunia,” pungkasnya.

Jaga Muruah Rockabilly