Sultan Bima XIV, Muhamamad Salahuddin, menjadi salah satu tokoh yang diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional 2025. Presiden Prabowo Subianto kabarnya telah menyetujui usulan sultan terakhir dari Kesultanan Bima itu untuk dianugerahi sebagai pahlawan nasional.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Bima, Tajuddin, mengatakan Sultan Muhammad Salahuddin sudah diusulkan menjadi pahlawan nasional sejak 2008 dan diproses pada 2016. Pada 2019 hingga 2024, namanya masuk dalam antrean sebagai kandidat pahlawan nasional.
“Pengusulan ini tidak terlepas dari jasa-jasanya berjuang kemerdekaan RI yang menyatakan diri Kesultanan Bima bergabung dengan NKRI yang saat itu dipimpin Presiden Soekarno,” ungkap Tajuddin kepada infoBali, belum lama ini.
Selain berjuang mempertahankan NKRI, Muhammad Salahuddin juga berjasa mendukung organisasi pergerakan dan kemasyarakatan. Termasuk mendirikan sekolah umum dan yayasan pendidikan agama islam serta memberikan beasiswa kepada muda-mudi dengan menggunakan uang pribadinya.
“Sekolah islam didirikan oleh Sultan zaman dulu, sampai saat ini masih aktif. Sultan dulu banyak mengirim warga Bima untuk sekolah keluar negeri seperti ke Mesir dan Arab Saudi,” imbuhnya.
Sejarawan Bima, Fahri Rizki, mengatakan Muhammad Salahuddin adalah anak dari Ibrahim, Sultan Bima ke XIII. Muhammad Salahuddin yang kini diabadikan sebagai nama bandara di Bima ini lahir pada 14 Juli 1889 dan wafat di Jakarta pada 11 Juli 1951.
“Muhammad Salahuddin memerintah Kesultanan Bima, sejak 1915 hingga 1951. Namun diangkat secara resmi sebagai Sultan Bima ke XIV, oleh Majelis Hadat pada 1917,” ungkap Fahri.
Selain dikenal sebagai Sultan, Muhammad Salahuddin adalah pemuka agama. Dengan predikatnya itu, Sultan Muhammad Salahuddin dikenal dengan gelar Ruma Ma Kidi Agama (yang menegakkan agama).
Beberapa bulan setelah proklamasi Kemerdekaan RI, tepatnya pada 22 November 1945, Muhammad Salahuddin mengeluarkan maklumat yang menyatakan Kesultanan Bima bergabung resmi dengan NKRI. Pada 1946 saat Konferensi Malino, Muhammad Salahuddin memperjuangkan Indonesia agar tidak terpecah belah.
“Karena hal ini, Presiden Soekarno datang ke Bima pada 1950 menemui Sultan Muhammad Salahuddin dan menginap di istana Kesultanan Bima yang sekarang Museum ASI Mbojo,” imbuhnya.
Berikut 10 fakta tentang sosok Sultan Muhammad Salahuddin seperti disampaikan oleh ahli waris (cucu) sekaligus kepala Museum Samparaja Bima, Dewi Ratna Muchlisa (Dae Dewi).
Menurut Dae Dewi, jiwa nasionalis Sultan Muhmmad Salahuddin ditandai dengan mengeluarkan maklumat pada 22 November 1945. Poin penting dalam maklumat itu, yakni Sultan menyatakan Kerajaan Bima adalah daerah Istimewa yang berdiri di belakang NKRI.
“Maklumat ini diapresiasi Presiden Soekarno (Bung Karno) dengan datang langsung ke Bima pada 1950. Bung Hatta memuji jiwa nasionalis Sultan dan meminta agar menjaga amanat Proklamasi,” terang Dae Dewi.
Saat menjadi Sultan, Muhammad Salahuddin mengeluarkan kebijakan Nika Baronta (Nikah Berontak). Kebijakan ini untuk menyelamatkan para perempuan Bima yang masih gadis dan lajang. Karena saat itu Kesultanan Bima masih dalam bayang- bayang penjajahan Jepang.
“Sultan memerintahkan agar anak gadis di Bima segera dinikahkan agar tidak dijadikan Jugun Ianfu (wanita penghibur) oleh para Tentara penjajah Jepang,” sebut dia.
Menurut Dae Dewi, saat ini ada sekitar 38 kitab ilmu agama Islam menjadi koleksi Sultan Muhamad Salahuddin yang kini masih disimpan di Museum Samparaja Bima. Di samping itu, ada pula arsip surat penting di era kepimpinannya.
Karena cinta ilmu pengetahuan, Sultan Muhammad Salahuddin juga merupakan seorang penulis. Di Museum Samparaja Bima terdapat sejumlah naskah khutbah Jumat yang ditulis langsung oleh Sultan Muhammad Salahuddin.
Salah satu karya monumentalnya adalah Kitab Nurul Mubin, yang disunting dari kitab terdahulu yaitu kitab yang ada sejak masa Sultan Abdul Qadim pada abad ke-18.
Masa kepemimpinan Sultan Muhammad Salahuddin adalah masa pergerakan kemerdekaan saat dinamika perjuangan mewarnai kehidupan masyarakat Bima. Para pendiri organisasi kepemudaan dan kemerdekaan itu merupakan pelajar dan mahasiswa yang dikirim Sultan Muhammad Salahuddin untuk belajar ke luar daerah, baik itu di Bali, Makassar, hingga Pulau Jawa.
Sultan Muhammad Salahuddin memfasilitasi berbagai organisasi pergerakan kemerdekaan memberikan otonomi dan memberikan peluang sebesar besarnya kepada rakyat Dompu untuk melepaskan diri dari Bima sehingga pada September 1947 Tajul Arifin Sirajuddin dinobatkan menjadi Sultan Dompu.
Sultan Muhammad Salahuddin telah membangun 60 sekolah hingga terbentuknya Yayasan Islam Bima. Sekolah kota didirikan di setiap Kejenelian. Sekolah desa di setiap desa yang kemudian menjadi Sekolah Rakyat dan Sekolah Dasar hingga saat ini. Sekolah Agama seperti Darul Ulum juga didirikan.
Pendidikan Modern mulai dibangun pada tahun 1920. Sultan Muhammad Salahuddin mendatangkan para guru non muslim untuk mengajar ilmu pengetahuan umum di Bima. Hingga saat ini, keturunan HBS Yulianche menjadi saksi sejarah tentang jiwa toleran dan inklusifnya seorang Sultan Muhammad Salahuddin.
Meskipun sultan tidak lagi menjadi berkuasa tetapi sultan semasa hidupnya tetap memberikan beasiswa bagi rakyatnya agar tidak putus sekolah. Sehingga Bima bisa menjadi seperti sekarang ini terkenal dengan para guru-guru agama hingga ke pelosok Nusantara.
Sultan Muhammad Salahuddin dikenal sangat toleran terhadap umat non muslim. Ia rela memberikan tanahnya kepada misionaris di Raba Bima untuk dibangun gereja.
Sultan juga mengajarkan warganya di wilayah Donggo untuk saling menghargai dan toleransi antar umat beragama. Wilayah tersebut merupakan contoh toleransi yang sesungguhnya karena dalam satu rumah hidup rukun agama yang berbeda. Begitu juga masyarakatnya bahu membahu dalam keberagamaan.
Sebagai seorang ulama, Sultan Muhammad Salahuddin sangat peduli terhadap pendidikan agama Islam. Pendirian sekolah Islam dibarengi dengan pemberian hibah tanah kesultanan untuk membiayai dunia pendidikan mulai dari pembangunan sekolah, gaji guru, hingga beasiswa untuk para pelajar Bima.
Hingga kini, sultan terus memberikan bantuan kepada masjid, dan perangkat masjid di Bima serta para guru agama lewat Yayasan Islam yang dahulunya bernama Mahkamahtus Syariah yang mengelola tanah-tanahnya.
Banyak bangunan bersejarah yang dibangun pada masa Sultan Muhammad Salahuddin. Teermasuk Asi Mbojo, pendopo bupati, kantor wali kota lama di Raba, Masjid Al Muwahiddin, Dam Rawa Baka, dan sejumlah fasilitas publik lainnya. Bangunan itu hingga kini masih berdiri megah mengawal perubahan zaman.
Sewaktu tentara Jepang masuk ke Bima, mereka meminta Sultan agar segala peninggalan berharga seperti keris, mahkota, ceret, dan lainnya yang terbuat dari emas dikumpulkan dan dilebur untuk dijadikan gigi palsu tentara Jepang. Sultan dengan tegas menolak dan segera mengamankan benda-benda berharga itu dan menggantikan dengan emas batangan untuk dijadikan gigi palsu tentara Jepang.
Hingga kini benda-benda bersejarah yang terbuat dari emas masih tersimpan di Museum Asi Mbojo yang merupakan eks Istana Bima.
1. Nasionalis Sejati
2. Peduli Perempuan
3. Cinta Ilmu Pengetahuan
4. Menjadi Penulis
5. Pemimpin Visioner
6. Tokoh Pendidikan
7. Toleran dan Inklusif
8. Pemuka Agama (Ulama)
9. Pelopor Pembangunan
10. Selamatkan Benda Bersejarah dari Penjajah Jepang
Menurut Dae Dewi, jiwa nasionalis Sultan Muhmmad Salahuddin ditandai dengan mengeluarkan maklumat pada 22 November 1945. Poin penting dalam maklumat itu, yakni Sultan menyatakan Kerajaan Bima adalah daerah Istimewa yang berdiri di belakang NKRI.
“Maklumat ini diapresiasi Presiden Soekarno (Bung Karno) dengan datang langsung ke Bima pada 1950. Bung Hatta memuji jiwa nasionalis Sultan dan meminta agar menjaga amanat Proklamasi,” terang Dae Dewi.
Saat menjadi Sultan, Muhammad Salahuddin mengeluarkan kebijakan Nika Baronta (Nikah Berontak). Kebijakan ini untuk menyelamatkan para perempuan Bima yang masih gadis dan lajang. Karena saat itu Kesultanan Bima masih dalam bayang- bayang penjajahan Jepang.
“Sultan memerintahkan agar anak gadis di Bima segera dinikahkan agar tidak dijadikan Jugun Ianfu (wanita penghibur) oleh para Tentara penjajah Jepang,” sebut dia.
Menurut Dae Dewi, saat ini ada sekitar 38 kitab ilmu agama Islam menjadi koleksi Sultan Muhamad Salahuddin yang kini masih disimpan di Museum Samparaja Bima. Di samping itu, ada pula arsip surat penting di era kepimpinannya.
Karena cinta ilmu pengetahuan, Sultan Muhammad Salahuddin juga merupakan seorang penulis. Di Museum Samparaja Bima terdapat sejumlah naskah khutbah Jumat yang ditulis langsung oleh Sultan Muhammad Salahuddin.
Salah satu karya monumentalnya adalah Kitab Nurul Mubin, yang disunting dari kitab terdahulu yaitu kitab yang ada sejak masa Sultan Abdul Qadim pada abad ke-18.
Masa kepemimpinan Sultan Muhammad Salahuddin adalah masa pergerakan kemerdekaan saat dinamika perjuangan mewarnai kehidupan masyarakat Bima. Para pendiri organisasi kepemudaan dan kemerdekaan itu merupakan pelajar dan mahasiswa yang dikirim Sultan Muhammad Salahuddin untuk belajar ke luar daerah, baik itu di Bali, Makassar, hingga Pulau Jawa.
Sultan Muhammad Salahuddin memfasilitasi berbagai organisasi pergerakan kemerdekaan memberikan otonomi dan memberikan peluang sebesar besarnya kepada rakyat Dompu untuk melepaskan diri dari Bima sehingga pada September 1947 Tajul Arifin Sirajuddin dinobatkan menjadi Sultan Dompu.
1. Nasionalis Sejati
2. Peduli Perempuan
3. Cinta Ilmu Pengetahuan
4. Menjadi Penulis
5. Pemimpin Visioner
Sultan Muhammad Salahuddin telah membangun 60 sekolah hingga terbentuknya Yayasan Islam Bima. Sekolah kota didirikan di setiap Kejenelian. Sekolah desa di setiap desa yang kemudian menjadi Sekolah Rakyat dan Sekolah Dasar hingga saat ini. Sekolah Agama seperti Darul Ulum juga didirikan.
Pendidikan Modern mulai dibangun pada tahun 1920. Sultan Muhammad Salahuddin mendatangkan para guru non muslim untuk mengajar ilmu pengetahuan umum di Bima. Hingga saat ini, keturunan HBS Yulianche menjadi saksi sejarah tentang jiwa toleran dan inklusifnya seorang Sultan Muhammad Salahuddin.
Meskipun sultan tidak lagi menjadi berkuasa tetapi sultan semasa hidupnya tetap memberikan beasiswa bagi rakyatnya agar tidak putus sekolah. Sehingga Bima bisa menjadi seperti sekarang ini terkenal dengan para guru-guru agama hingga ke pelosok Nusantara.
Sultan Muhammad Salahuddin dikenal sangat toleran terhadap umat non muslim. Ia rela memberikan tanahnya kepada misionaris di Raba Bima untuk dibangun gereja.
Sultan juga mengajarkan warganya di wilayah Donggo untuk saling menghargai dan toleransi antar umat beragama. Wilayah tersebut merupakan contoh toleransi yang sesungguhnya karena dalam satu rumah hidup rukun agama yang berbeda. Begitu juga masyarakatnya bahu membahu dalam keberagamaan.
Sebagai seorang ulama, Sultan Muhammad Salahuddin sangat peduli terhadap pendidikan agama Islam. Pendirian sekolah Islam dibarengi dengan pemberian hibah tanah kesultanan untuk membiayai dunia pendidikan mulai dari pembangunan sekolah, gaji guru, hingga beasiswa untuk para pelajar Bima.
Hingga kini, sultan terus memberikan bantuan kepada masjid, dan perangkat masjid di Bima serta para guru agama lewat Yayasan Islam yang dahulunya bernama Mahkamahtus Syariah yang mengelola tanah-tanahnya.
Banyak bangunan bersejarah yang dibangun pada masa Sultan Muhammad Salahuddin. Teermasuk Asi Mbojo, pendopo bupati, kantor wali kota lama di Raba, Masjid Al Muwahiddin, Dam Rawa Baka, dan sejumlah fasilitas publik lainnya. Bangunan itu hingga kini masih berdiri megah mengawal perubahan zaman.
Sewaktu tentara Jepang masuk ke Bima, mereka meminta Sultan agar segala peninggalan berharga seperti keris, mahkota, ceret, dan lainnya yang terbuat dari emas dikumpulkan dan dilebur untuk dijadikan gigi palsu tentara Jepang. Sultan dengan tegas menolak dan segera mengamankan benda-benda berharga itu dan menggantikan dengan emas batangan untuk dijadikan gigi palsu tentara Jepang.
Hingga kini benda-benda bersejarah yang terbuat dari emas masih tersimpan di Museum Asi Mbojo yang merupakan eks Istana Bima.
